Thursday, August 16, 2007

Prosiklikalitas Perbankan Nasional

Kita semua rupanya agak terkejut ketika membaca berita di kompas pada tanggal 23 februari 2007 yang berjudul laba bank tumbuh semu. Diberitakan bahwa dimana ada pertumbuhan laba perbankan nasional tumbuh 16% justru dari penempatan dananya di sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat Utang Negara (SUN) dan bukan berasal dari bisnis kredit. Kondisi ini aneh karena fungsi dari bank tersebut sebagai lembaga intermediasi, jadi seharusnya bank memperoleh keuntungan terbesar dari kegiatannya menyalurkan kredit. Sebenarnya dari berita tersebut dapat mensiratkan beberapa indikasi dan kesimpulan bagi kita semua yaitu pihak perbankan sendiri, pemerintah dan masyarakat dunia usaha nasional serta kondisi perekenomian nasional kita secara makro.

Indikasi yang paling utama bahwa perbankan nasional memang masih belum bersedia untuk melakukan ekspansi ekspansi kredit pada saat indonesia yang tengah mengalami masa resesi pada 2 tahun terakhir. Kondisi inilah yang dinamakan adanya kondisi prosiklikalitas dalam perbankan nasional. Kondisi prosiklikalitas ini artinya bahwa bank mengurangi ekspansi kredit (underlending) pada kondisi perekonomian mengalami resesi. namun sebaliknya perbankan biasanya akan melakukan overlending pada saat kondisi perekonomian berkembang pesat (booming).

Cukup dipahami perbankan nasional saat ini berusaha membatasi ekspansi kredit ke sektor riil, hal ini karena masih tingginya tingkat kredit macet (non ferforming loan - NPL) dari sektor riil juga. kita bisa lihat NPL bank-bank BUMN tahun 2007 seperti Bank Mandiri Gross NPL-nya sebesar 17,86% atau Bank BNI yang masih 11%. Kondisi ini juga dikuatkan dengan pernyataan Dirut Bank Mandiri, Agus Martowardojo bahwa Bank Mandiri masih akan tetap fokus pada penyelesaian kredit macetnya di tahun 2007.

Tingginya kredit macet menyebabkan tingginya biaya pencadangan kredit macet tersebut. seperti kita ketahui bahwa bank berbeda dengan industri lainnya, dimana bank wajib mencadangkan biaya kredit macetnya sebesar 100%. Ini artinya bank sudah merugi 300% yaitu 100% dari asetnya yang macet, 100% untuk biaya pencadangan kredit macet tersebut serta 100% untuk opportunity cost. Tinggi biaya pencadangan ini tentunya sangat berpengaruh dan membebani pada kondisi keuangan internal bank-bank tersebut.

Indikasi berikutnya adalah di dalam kondisi resesi ekonomi memaksa perbankan nasional bertindak rasional dengan tetap harus memegang prinsip kehati-hatian perbankan(prudential banking). Hal ini berarti bahwa bank harus tetap melangsungkan bisnisnya yaitu menghimpun dana masyarakat kemudian mempertahankan aset kredit lancar yang ada serta menempatkan dananya tidak pada ekspansi kredit namun secara realistis menempatkan pada SBI dan SUN. Hal ini artinya perbankan nasional secara bertanggung jawab menjaga kepercayaan masyarakat untuk tetap solvabel dan likuid.

Sebagai implikasi kondisi prosiklikalitas perbankan nasional adalah tingginya pengendapan dana perbankan pada SBI dan SUN serta besarnya biaya bunga yang harus dibayarkan otoritas moneter dan pemerintah. Sesuai keterangan Gubernur Bank Indonesia, Burhanuddin Abdullah pada Kompas tanggal 27 Februari 2007, memperkirakan nilai SBI di akhir tahun 2007 bisa mencapai Rp 300 triliun atau naik drastis 26% dari posisi Februari 2007 yang sebesar Rp 237 triliun. Dengan bunga SBI yang harus dibayarkan sebesar Rp 25 triliun dan bunga SUN sebesar Rp 65 triliun. Besarnya beban bunga SBI dan SUN yang harus dibayarkan ini merupakan suatu harga resiko sistem moneter nasional. Kita tetap harus selalu ingat bahwa suatu bank memiliki Systemic Risk yang mana kegagalan suatu bank dapat menyebabkan kerusakan pada sistem perekonomian nasional.

Indikasi yang terlihat jelas adalah bahwa saat ini kondisi perekonomian Indonesia dalam 2 tahun ini memang tengah mengalami resesi. Sayangnya bahwa pemerintahan SBY saat ini tidak berani untuk menyatakan kita dalam kondisi perekenomian yang sedang "prihatin". Hal ini berbeda semasa orde baru yang selalu mengumumkan kondisi resesi ekonomi, seperti adanya kebijakan tight money policy.

Sebagai kesimpulan akhir, penulis menghimbau kepada pemerintah beserta pihak terkait untuk tidak menekan, mendorong-dorong atau menginstruksikan perbankan nasional untuk melakukan ekspansi kredit di masa resesi ekonomi seperti ini. Sebenarnya perbankan nasional beroperasi sesuai mekanisme pasar dan hal ini dapat dijelaskan pada kondisi prosiklikalitas. Apa yang dilakukan perbankan nasional adalah langkah terbaik demi kelangsungan hidup (business survival) bank itu sendiri dan guna menghindari kejatuhan kembali bank-bank seperti halnya pada krisis ekonomi tahun 1998. Salah satu alternatif solusi yang bisa disampaikan adalah pemerintah harus berusaha semaksimal mungkin untuk memperbaiki iklim investasi dan usaha nasional sehingga sektor perbankan kembali aktif berpartisipasi sehat dalam sistem perekonomian nasional yang dinamis.


Penulis:
Dede Parasade
Praktisi dan Pengamat Perbankan

No comments: