Friday, October 24, 2008

Lonceng Kematian LC


Beberapa kali kesempatan penulis berjumpa dengan beberapa Relationship Manager (RM) yang mengeluhkan tentang trend penurunan transaksi Letter of credit (LC) ekspor nasabah. Ketika para RM lakukan konfirmasi dengan nasabahnya, dinyatakan bahwa tingkat penjualan ekspor nasabah sebenarnya naik namun tidak menggunakan LC. Muncul pertanyaan sederhana dari para RM, Apa yang terjadi dengan transaksi LC ekspor nasabah pada akhir-akhir ini?

Keluhan para RM sebenarnya cukup beralasan apabila kita cermati data transaksi ekspor non migas versi Bank Indonesia. Terlihat pada gambar 1 bahwa di tahun 2007 data ekspor non migas Indonesia yang menggunakan LC sebagai alat bayar hanya tinggal 15 % saja! Dari tahun ke tahun porsi LC menunjukkan trend yang terus menurun.
Dan gejala menurunnya pembayaran dengan LC dalam transaksi ekspor impor sebenarnya sudah menjadi trend dunia sekarang. Lembaga Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication - SWIFT menginformasikan bahwa porsi LC sebagai alat bayar di perbankan internasional hanya tinggal 10% saja. Setiap tahunnya porsi LC alami laju penurunan. Sehingga bukan bermaksud hiperbolik penulis memberikan judul artikel ini adalah Lonceng Kematian LC.

Menjawab pertanyaan diatas, terdapat beberapa riset trade yang menyimpulkan 3 (tiga) faktor dominan penyebab turunnya penggunaan LC sebagai alat bayar. Mari kita bahas satu persatu faktor tersebut. Faktor pertama, Transaksi menggunakan LC itu mahal. Hampir semua bank mempunyai tarif yang serupa untuk LC misalnya tarif untuk provisi pembukaan LC impor sebesar 0,5% dan untuk provisi negosiasi ekspor tarifnya 0,125%. Apabila nilai transaksi ekspor impor bernilai USD 100,000 artinya di sisi importir harus keluarkan biaya USD500 dan pada sisi eksportir harus keluarkan biaya provisi USD125. Jika kita bandingkan untuk collection (NON LC) yang mempunyai tarif USD 50 tanpa melihat berapapun besar nilai transaksinya. Oleh karena itulah nasabah beralih ke transaksi NON LC yang terdiri dari transaksi transfer TT atau collection (document against payment dan document againts acceptance).

Faktor kedua adalah Jalinan dagang yang semakin erat antara eksportir dan importir sehingga dipandang tidak perlu lagi menggunakan instrumen LC dan mereka sepakat untuk beralih melakukan transaksinya dengan NON LC. Pada awalnya LC muncul karena ketidakpercayaan antara eksportir dan importir sehingga membutuhkan pihak ketiga yang sama-sama dipercaya yaitu lembaga perbankan. Akan tetapi tatkala derajat hubungan kedua pihak itu meningkat seiringnya dengan waktu bertransaksi, mulailah mereka melirik instrumen NON LC.

Faktor terakhir yang kerap kali disebut-sebut para eksportir adalah menggunakan transaksi LC itu rumit dan memakan waktu lama. Pertama, disebut rumit karena eksportir harus menyusun dan membuat dokumen-dokumen yang sama persis dengan apa yang dipersyaratkan didalam LC. Apabila tidak sesuai syarat LC maka bank akan sebut discrepancy dan bahkan bank berhak menolak pembayaran atas dokumen meski kondisi discrepancies-nya tidak berarti, rumit kan? Kedua, membayar transaksi perdagangan dengan LC memerlukan waktu yang lama. Waktu normal saja untuk proses pembayaran LC sudah membutuhkan 14 hari kerja (sama dengan 3 minggu hari kalender) dan belum lagi ditambah delay payment apabila terjadi discrepancies dokumen, bisa 1 bulan lamanya. Sedangkan jika nasabah menggunakan transaksi non LC waktunya cukup 5 – 10 hari kalender saja.

Memang Bisnis LC ekspor di Bank Mandiri saat ini masih menarik, kuasai pangsa pasar LC nasional 40% dengan menghasilkan fee based sebesar Rp80 milyar namun bukan hal yang patut dibanggakan. 15 tahun ke depan LC mungkin sudah mati sebagai produk. Untuk itulah kita harus proaktif untuk menggarap pasar NON LC (Porsi yang 85% ekspor nasional – gambar 1) dengan menyiapkan dua “pekerjaan rumah” (PR) di depan mata. PR Pertama untuk para RM yang sudah harus mulai “pede” memasarkan produk komplementer yaitu PWE NON LC ( SE No. 009/UMM/CMB.WPM/2007 tanggal 12 Juli 2007) sehingga Bank tetap dapat berperan dalam proses perdagangan nasabahnya. PR Kedua yaitu kita sebagai bank harus menyiapkan produk subtitusi yaitu produk pembiayaan yang disesuaikan dengan setiap mata rantai kegiatan usaha nasabah yang biasa dikenal sebagai value chain financing. Produk tersebut antara lain Purchase Order (PO) Financing, warehouse financing, Invoice Financing, Non LC Financing ataupun Bill of Lading (B/L) Financing.

Ahir kata, inilah perkembangan bisnis yang sedang kita hadapi. Dalam product life cycle, LC telah memasuki tahap penurunan dan menuju taraf kematian. Menjadi tanggung jawab kita sebagai mahluk kreatif untuk menjawab tantangan jaman yang berubah cepat. Seperti pepatah kuno mengatakan hilang satu, tumbuh seribu. Esa hilang dua terbilang. LC boleh hilang, value chain financing siap menggalang.

Wednesday, April 23, 2008

Negosiasi Wessel Ekspor

Negosiasi wessel ekspor (nego WE) adalah sebuah kalimat yang sering kali terdengar, terbaca ataupun terpaparkan di kalangan komunitas trade dan bisnis unit khususnya untuk segmen corporate, commersial ataupun small business. Kalimat ini sebenarnya merupakan transaksi harian biasa dalam proses bisnisnya nasabah menghasilkan pendapatan namun yang cukup mengherankan, rupanya kalimat ini masih menjadi momok bagi sebagian pihak dan bisnis unit di Bank Mandiri. Seringkali diikuti pertanyaan berikutnya yaitu bagaimana kalau terjadi unpaid?

Transaksi ekspor sendiri merupakan proses produsen untuk memasarkan barang atau jasanya ke luar negeri. Cara pembayarannya bisa menggunakan letter of credit (L/C) atau non L/C sesuai kesepakatan pembeli dan penjual di dalam sales contract. Biasanya cara pembayaran dengan L/C mempunyai rata-rata jangka waktu penagihan selama 14-21 hari kerja. Karena lamanya jangka waktu penagihan inilah memunculkan kebutuhan nasabah untuk negosiasi wessel ekspor. Negosiasi disini artinya bank mengambil alih dahulu tagihan nasabah atas dasar wessel/draft beserta dokumen-dokumen yang diminta dalam L/C. Seringkali dokumen yang diberikan ke bank dalam kondisi tidak sesuai dengan syarat L/C yang disebut istilahnya discrepancy. Disinilah bisnis unit harus memutuskan untuk menegosiasi atau meng-collect wessel ekspor tersebut.

Atas dasar kondisi tersebut diatas penulis ingin memaparkan aspek-aspek berkaitan Nego WE ini. Uraian yang pertama, bahwa transaksi ekspor adalah bagian dari proses piutang dagang (account receivables) nasabah. Dan ketika bank melakukan nego WE nasabah, hal ini bermakna ganda. Makna pertama, bank ikut serta proses bisnis nasabah khususnya membantu nasabah dalam hal percepatan mengubah tagihan piutang dagang menjadi kas. Makna kedua adalah pengawasan melekat, bank secara tidak langsung ikut mengawasi proses produksi nasabah khususnya disisi penjualan produknya. Hal ini berkaitan bank melakukan pengelolaan kredit nasabah. Menurut hemat kami, kedua makna tadi jauh lebih baik daripada melakukan analisa laporan keuangan nasabah yang sifatnya past performances.

Pemaparan kedua mengenai resiko tidak dibayar (unpaid) yang sering dikumandangkan oleh pihak-pihak “phobia-nego”. Memang ada kemungkinan tidak dibayar wessel ekspor dalam kondisi dokumen discrepancy. Namun disini penulis ingin menggarisbawahi tiga hal mengenai isu unpaid ini. Pertama, secara statistik, kecil sekali terjadi unpaid.dalam kurun waktu 3 tahun ini, kasus unpaid hanya terjadi sekali sebesar USD 800 ribu dari total ekspor di Bank Mandiri rata-rata sebesar USD 4 milyar per tahun. Dan kasus inipun adalah fraud dimana terjadi penipuan dokumen oleh nasabah. Kedua, secara statistik 90% dokumen ekspor dikirim dalam kondisi discrepancy dan selama ini selalu dibayar. Ketiga, mitigasi resiko atas terjadinya unpaid telah disempurnakan dari tahun ke tahun, seperti bisnis unit wajib menetapkan trade line bagi nasabahnya untuk dapat melakukan nego WE tidak sesuai dengan syarat L/C (discrepancy). Kemudian kita mempunyai hak regres (with recourse) yaitu kita akan mendebet kembali rekening nasabah apabila 30 hari tagihan WE belum dibayar issuing bank.

Yang tak kalah pentingnya berkaitan penanganan nego WE ini Bank Mandiri telah melakukan segregation of duty yang cukup jelas dimana ada tiga pilar dalam bisnis proses trade pilar. Pertama adalah Bisnis Unit yang menetapkan trade line untuk nasabah. Kemudian kedua, ada Trade Servicing Center yang selalu siap sedia membantu nasabahnya untuk menyusun dokumen yang comply with dengan persyaratan L/C. Pilar terakhir, kita pula telah memiliki Bill Processing Center yang melakukan pengecekan dokumen secara teliti dan cermat dengan standar baku praktek perbankan.

Pemaparan terakhir yang menarik adalah meningkatnya trend pembayaran ekspor di dunia dengan non L/C dimana 90% transaksi ekspor nasabah dilakukan tanpa L/C dan ini berarti hanya tinggal 10% transaksi menggunakan L/C. Data BI dan BPS menyebutkan dari USD 112 milyar ekspor indonesia tahun 2007, hanya tinggal USD 12 miliar saja transaksi ekspor menggunakan L/C. Cara pembayaran dengan Transaksi non L/C menggunakan berbagai cara seperti konsinyasi, collection, open account ataupun transfer valas biasa. Hasil survey nasabah menyebutkan salah satu alasan penurunan transaksi dengan L/C adalah mahal dan rumitnya melakukan transaksi L/C di bank. Hal ini tentunya berarti menurunnya kesempatan bank untuk raih pendapatan dari nego WE.

Akhir kata, meskipun secara umum transaksi ekspor dengan L/C mulai ditinggalkan eksportir, penulis tetap mengajak kepada semua pihak terkait di Bank Mandiri untuk lebih giat lagi melakukan nego WE nasabahnya karena penghasil fee based income. Penulispun menghimbau untuk tidak menjadikan nego WE menjadi sebuah momok lagi atau bahkan menjadi phobia. Sebab hal ini semua merupakan perwujudan kita untuk mencapai tahapan outperform of the market.


Penulis;
Dede Parasade

Wholesale Product Management Group