Saturday, September 07, 2002

The Lost Generation

Istilah The Lost Generation muncul ketika bumi Indonesia tercinta ini terlanda krisis ekonomi yang merupakan kekhawatiran berbagai pihak terhadap kekurangan pangan dan gizi atas bayi-bayi yang terlahir dari keluarga yang tidak mampu. Dikhawatirkan generasi berikutnya adalah generasi yang lemah, bodoh, ringkih dan selalu kalah dalam kancah persaingan dunia.

The Lost Generation pula ini merupakan kekhawatiran penulis terhadap para junior officer yang bergabung dengan Bank Mandiri yang memiliki pengalaman kerja dibawah 10 tahun. Generasi ini adalah generasi termuda dari keempat ex-legacy Bank Mandiri yang bergabung, generasi yang belum pernah merasakan dan mencicipi nikmatnya pendidikan program pasca sarjana/post Graduated ABIDIN (atas biaya Dinas). Generasi ini juga yang hanya mendengar dan melihat senior mereka yang merasakan program MBA di luar negeri ataupun program MM di dalam negeri.

Salah satu motivasi para staf muda memasuki bank-bank ex legacy adalah memperoleh jenjang pendidikan pasca sarjana, hal ini sekaligus sebagai sarana pengembangan sumber daya insani dalam bank-bank ex legacy tersebut. Namun apa dinyana badai krisis menghantam negeri ini dan juga 4 ex legacy kapal induk dan membuatnya karam, hingga pemerintah turun tangan menyusun kembali 4 rangka kapal yang karam tersebut menjadi Bank Mandiri, sehingga keinginan para staf muda ini menjadi tertunda hingga saat ini. Badai juga melanda kapal-kapal bank BUMN yang lain namun tidak sempat karam karena cepat-cepat ditambal program rekapitalisasi pemerintah.

Jika kita melihat program pasca sarjana bank pesaing kita maka ada pepatah mengatakan ‘rumput tetangga memang lebih hijau’. Tentunya kita akan terpana melihat program business School (Bizkul) yang dimiliki Bank-bank pesaing kita setelah pasca rekapitalisasi. Mari kita lihat hijaunya rumput itu satu persatu.

A. Bank Rakyat Indonesia (BRI)

Saat ini bisa dikatakan program pendidikan termaju di Indonesia justru dimiliki oleh Bank rakyat yang satu ini. Selain mengimplementasikan sistem pendidikan yang berkelanjutan dan terpadu bagi seluruh level pegawainya, BRI juga ternyata masih memberikan bea siswa bagi karyawannya untuk melanjutkan program pasca sarjana. Kerja sama dengan MM UGM masih tetap dilanjutkan, MM IPB pun digandengnya dan penggantian 100% atas biaya pendidikan program pasca sarjana juga diberikan. Tentunya proses seleksi yang ketat harus dilalui untuk karyawan yang akan melanjutkan program ini.

B. Bank Negara Indonesia (BNI’ 46)

BNI pun tak mau kalah dalam program pasca sarjana bagi karyawannya. BNI mempercayai MM IPB dalam kerja sama menyekolahkan business School para karyawannya. Jika karyawan menghendaki melanjutkan di lain institusi maka penggantian 50% atas biaya program pasca sarjana tersebut diberikan. Proses seleksi yang ketat juga harus dilalui untuk yang berminat.

C. Bank Central Asia (BCA)

Raksasa perbankan nasional ini tidak disangka ternyata sedang giat-giatnya melancarkan program pendidikan dan pelatihan bagi seluruh karyawannya. Program pasca sarjanapun tak luput dari jangkauannya. Setelah melalui program seleksi yang ketat, karyawan diberikan keleluasaan untuk memilih TOP 5 BIZKUL yang ada (MMUI, IPMI, Prasetya Mulya, IPPM, MM UGM) dan kemudian memberikan bea siswa gratis 100% untuk program tersebut.

Dari program-program pesaing, kita mampu melihat bahwa para pesaing kita ternyata lebih menekankan pada investasi sumber daya insani berjangka panjang dan bersifat kaderisasi berkelanjutan meskipun tetap didera krisis. Kekhawatiran the Lost generation otomatis ditepis dengan mudah dan yang paling pasti mereka sudah siap sedia tempur dalam visi jangka panjang dan siap pula menerkam yang lemah.

Dari uraian tersebut diatas, penulis hanya bisa berperibahasa; better late than never. Tidak ada istilah terlambat, mari kita tiru hijaunya rumput tetangga, kita urus rumput kita, beri pupuk yang cukup dan disiram air setiap hari. Jangan biarkan kami tumbuh berkembang dan bebas jadi ilalang. Kaderisasi karyawan yang berdimensi jauh ke depan akan lebih bermanfaat daripada kemudian kita harus meng-outsource manajer bayaran. Dan jika perlu dicanangkan kembali, Bank Mandiri sebagai Institutnya Bankir Indonesia...


Penulis : TSAO.5.Hb.JPM dan Mahasiswa MMUI

Wednesday, August 28, 2002

Sisi Kelam Dari Iklan

Sebagian orang meyakini bahwa iklan adalah cara paling efektif untuk mempromosikan produk/jasa ke pasar. Teman saya bilang: “jalan pintas menuju popularitas”. Apakah pernyataan itu betul? jawabannya adalah belum tentu. Karena dengan iklan justru bisa menjadi sebuah senjata makan tuan. fenomena seperti apakah ini? Menjawab hal ini, penulis jadi teringat sebuah rekaman lawas tentang seminar Marketing dengan Keynote speaker Bp. Hermawan Kertajaya yang berbicara tentang konsep Nilai (value). Sehubungan hal tersebut, mari kita mencoba menelaah konsep nilai tersebut khususnya value dalam benak konsumen serta iklan yang mewarnainya.

Di dalam sebuah iklan biasanya mengandung pesan-pesan, dimana pesan itu biasanya langsung mengajak kepada konsumen untuk mencoba dan menggunakan produk atau jasa yang diiklankan dengan kualitas terbaik. Dari pesan tersebut otomatis akan membentuk suatu pengharapan atau persepsi di dalam benak para penerima pesan tersebut. Hasil Proses inilah yang dinamakan Perception Value (nilai persepsi). dan biasanya perception value yang ada di benak para konsumen itu tinggi sebagai hasil dari iklan yang dilancarkan. Lebih-lebih iklan tersebut dilancarkan secara kontinyu.

Dan hasil penguatan positif dari perception value ini akan memotivasi seseorang melakukan tindakan sesuai pesan yang diterimanya. Dan pada tahap inilah konsumen mencoba membuktikan “janji surga” yang diterimanya. Tahap ini pula Konsumen akan merasakan langsung apa yang dijanjikan dari sebuah produk atau jasa. Proses ini disebut sebagai Perceived Value (nilai yang diterima).

Perceived Value VS Perception Value

ada 3 kategori kondisi yang akan dihasilkan dalam benak konsumen dari pertemuan Perception Value dan Perceived Value. Dan ketiganya itu adalah sebagai berikut:

Perceived Value > Perception Value
Bersyukurlah jika produk dan jasa yang berada pada posisi ini. Karena hal ini berarti nilai yang diterima oleh konsumen jauh melebihi apa yang dipersepsikan oleh konsumen itu sendiri terhadap produk dan jasa tersebut. Pada kondisi ini, kepuasan konsumen (customer satisfaction) bisa dicapai dan kemungkinan cukup besar akan terjadi pengulangan pembelian (repetitive buying).

Perceived Value = Perception Value
Satu komentar untuk kondisi ini yaitu WAJAR. Wajarlah sebuah perusahaan berusaha melakukan iklan dengan mencoba untuk mencapai kondisi dimana nilai yang diterima konsumennya sama dengan yang dipersepsikan oleh konsumennya. Kondisi apa adanya ini sama sekali tidak memiliki keunggulan karena pesaing kitapun bisa berada pada posisi ini. Sehingga dibutuhkan instrumen lain untuk memperkuat posisi kita di dalam benak konsumen.

Perceived Value < Perception Value
Bencanalah jika perusahaan dalam posisi ini, disini pula judul artikel ini berlaku; Sisi Kelam Dari Iklan. Dan pepatahpun mengatakan sudah jatuh tertimpa tangga pula, sudah mahal buat iklan ditinggalkan pula oleh konsumen. Konsumen merasa dirinya ditipu oleh bombastis iklan, kekecewaan muncul ketika harapan dari konsumen sudah tinggi ternyata realitas yang dirasakan/dilihat jauh dari pengharapan.

Pakem

Guna menghindari jebakan sisi kelam dari iklan ini tentunya dibutuhkan serangkaian panduan/pakem yang perlu dipatuhi, dipegang teguh dan dijalankan secara konsisten. Adapun pakem tersebut adalah sebagai berikut:

Janganlah terlalu sering beriklan
selain mahal juga secara psikologis setiap manusia akan muak dan jengkel jika diberikan informasi berulang-ulang dan sama. Dengan banyaknya pilihan media khususnya televisi, menyebabkan orang dengan mudah untuk pindah chanel, jika dianggapnya info tersebut membosankan. Tentukan suatu waktu hingga perhatian sebagian besar orang tertuju pada satu moment hingga terkenang selalu – moment of truth.

Hati-hati dengan Advertising Agencies
Advertising agencies sama dengan perusahaan yang lain, sama-sama memaximalkan profit. semakin besar kita berinvestasi semakin untunglah mereka. Jangan terlalu terpukau dengan hasil karya terbesar mereka, tetapi pilihlah mereka secara selektif dengan dasar iklan yang paling kreatif dan komunikatif. Beauty contest disini perlu pula dipertimbangkan dalam rangka meluncurkan sebuah iklan.

Janganlah terlalu banyak simbol
Materi iklan itu sendiri diharapkan tidak terlalu banyak mengandung banyak simbol, yang dikhawatirkan memunculkan berbagai apresiasi yang berbeda. Jangan biarkan imajinasi konsumen berkembang bebas dan liar sehingga membentuk Perception Value yang terlalu tinggi. Dengan kondisi masyarakat Indonesia yang berbeda-beda, ada baiknya memberikan suatu iklan yang bersifat pembelajaran bagi konsumen atas produk/jasa yang kita tawarkan. informasi lengkap dan detail atas suatu produk/jasa seharusnya diketengahkan dalam program iklan, khususnya dalam jasa perbankan.

Tengok dan perhatikan Iklan Pesaing
Kenali strategi musuh melalui iklannya dan tidak perlu gengsi untuk bila perlu meniru strategi-strategi promosi dari market leader. Kita wajib belajar dari pesaing atas Kemampuan tinggi untuk mengkomunikasikan suatu produk/jasa hingga hasil akhirnya terhadap kinerja mereka. Disinilah kemampuan marketing intellegence diuji.

Persiapan Sumber daya
Guna mengantisipasi dan menghindari gap antara iklan dan kesiapan sumber daya, perlu kiranya disiapkan secara matang berbagai sumber daya yang mendukung khususnya sumber daya insaninya yang berkaitan erat dengan product/services knowledge. Dan tentunya jaminan atas ketersediaan produk/jasa yang diiklankan sehingga mudah terjangkau oleh calon konsumen.

Himbauan

Dari Pakem yang disebutkan di atas, tentunya ini bisa dijadikan bahan pertimbangan dan masukan bagi Bank Mandiri yang sedang giat-giatnya melancarkan iklan khususnya dalam strategi above the line dengan media elektronis. Dan semoga pakem ini mampu menuntun Bank Mandiri menggapai posisi Perceived Value > Perception Value. Pakem ini pula sebagai penjabaran atas saran penulis dalam artikel sebelumnya yaitu mari kita lancarkan iklan secara cerdik dan efisien.

Penulis : TSAO Hub Jakarta Plaza Mandiri dan Mahasiswa MMUI

Wednesday, April 03, 2002

Ekspresi Ketidakpuasan Pegawai

Selaku pegawai bank Mandiri, kita cukup tercengang sekaligus sangat prihatin atas berbagai kasus tindak manipulasi, kasus pembobolan dari dalam Bank Mandiri sendiri. Rasanya kita sia-sia berusaha sekuat tenaga mencoba menangguk keuntungan bagi Bank mandiri namun kemudian keuntungan itu digondol begitu saja oleh oknum pegawai Bank Mandiri sendiri dengan tindak manipulasinya dan bahkan besarnya melebihi dari keuntungan Bank Mandiri sendiri.

Terlepas dari niat jahat dari para oknum, perlu kiranya ini menjadi suatu perenungan kita semua di Bank Mandiri, apa yang telah terjadi dengan Bank tercinta ini. Adakah kemungkinan ketidakpuasan karyawan dapat menimbulkan tindak manipulasi di Bank Mandiri. Ada baiknya jika kita menilik kembali sebuah teori Perilaku Organisasi.

Teori perilaku organisasi guna membahas fenomena yang terjadi adalah mengenai Job Dissatisfaction yang dikemukakan oleh C Rusbult dan D .Lowery dalam bukunya When Bureaucrats get the blues, dimana ketidakpuasan karyawan dapat diekspresikan dengan berbagai cara. Dari pada karyawan harus keluar maka mereka memilih misalnya karyawan mengeluh, tidak patuh atau mencuri alat-alat kantor. Pada exhibit 1 menggambarkan 4 respon yang berbeda sama sekali satu sama lain diantara 2 dimensi yaitu dimensi konstruktif/destruktif dan keaktifan/kepasifan.

Exhibit 1
Respon Ketidakpuasan Kerja


Adapun keempat respon tersebut adalah sebagai berikut:
1. Exit (keluar), merupakan langkah berani dengan keluar/meninggalkan perusahaan termasuk di dalamnya adalah mencari perkerjaan baru di perusahaan lain
2. Voice (bersuara), aktif dan konstruktif berusaha memperbaiki kondisi yang ada. Dalam hal ini karyawan menyarankan adanya perbaikan, berdiskusi dengan top management dan sejumlah kegiatan dalam serikat pekerja
3. Loyalty (Loyal), bersifat pasif namun optimis menanti perbaikan kondisi, mereka sangat percaya pada organisasi dan langkah para top management yang dianggapnya “pasti benar”
4. Neglect (tidak peduli), merupakan tindakan yang sebenarnya sangat berbahaya, dimana karyawan bersikap tidak peduli lagi dengan kondisi sekitar dan biasanya akan bertingkah laku buruk dalam menyikapi kondisi yang buruk. Dapat digolongkan dalam kelompok ini adalah tingkat absensi yang tinggi, pengenduran produktifitas dan peningkatan tingkat kesalahan.

Respon setiap karyawan atas ketidakpuasan tentunya akan berbeda-beda tergantung nilai, sikap, motivasi dan persepsi masing-masing karyawan. Munculnya Serikat Pekerja Bank Mandiri (SPBM) merupakan era baru di Bank Mandiri, respon SPBM dalam “Buletin Kopi Panas” kiranya dapat dikategorikan sebagai respon VOICE. Mereka mencoba membuka wacana keterbukaan dalam sistem Manajemen Bank Mandiri dan menawarkan dialog antara karyawan dan Top Manajemen.

Sedangkan respon LOYALTY, merupakan typicaly karyawan BUMN, rasanya sebagian besar karyawan Bank Mandiri ada dalam posisi tersebut. Merek cenderung memilih diam atas dinamika yang terjadi dan mengikuti arus yang ada. Kedua respon tadi masih dalam kerangka yang jauh lebih baik yaitu dimensi yang konstruktif.

Respon EXIT memiliki dimensi destruktif namun mempunyai kadar resiko yang rendah. Ketidakpuasan kerja langsung disikapinya dengan langkah keluar dari perusahaan. Apabila Bank Mandiri tidak mampu memberikan kesempatan luas kepada karyawannya, tidak menutup kemungkinan akan ada hengkangnya para officer potensialnya. (Issue ini dibahas dalam artikel berikutnya dari penulis)

Air tenang menghanyutkan, itulah istilah yang cocok untuk kelompok respon NEGLECT. Sebenarnya dalam respon Neglect (Tak Peduli) merupakan kelompok respon memunculkan resiko paling besar, dalam menyikapi sebuah kondisi kelompok ini cenderung diam namun kemudian mengkompensasikannya dalam sebuah tindakan yang cenderung merugikan perusahaan, termasuk di dalamnya yaitu tindak manipulasi selain tindakan indisipliner.

Memang sangat sulit mengidentifikasi masing-masing keinginan dari 17 ribu karyawan Bank Mandiri sehingga keempat respon ketidakpuasan tersebut diatas akan selalu muncul setiap saat. Oleh karena itu perlu kiranya manajemen mengidentifikasi latar belakang/pemicu permasalahan karyawan secara umum terlebih dahulu.

Dapat kita lihat bahwa pemicu munculnya ketidakpuasan Karyawan Bank Mandiri secara sederhana dapat digolongkan menjadi faktor eksternal dan Internal. Eksternal antara lain Seperti halnya yang dirasakan oleh seluruh bangsa Indonesia, karyawan bank mandiripun merasakan apa yang dinamakan “uncertainty” ketidakmenentuan yang berkepanjangan serta tekanan berat inflasi. Ditambah faktor internal yaitu berbagai perubahan sebagai akibat adanya merger Bank Mandiri.

Alternatif solusi dapat ditawarkan jika kita mampu melihat permasalahan secara umum, kita kembali pada teori klasik Motivasi “Herzberg” yaitu Teori 2 Faktor. Dimana motivasi seorang karyawan dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu faktor Hygienis (external) dan faktor Motivator (internal). Faktor Hygienis merupakan faktor eksternal yang mampu membuat karyawan tidak menjadi tidak puas apabila terpenuhi faktor ini. Atau dengan kata lain apabila faktor ini tidak ada maka karyawan menjadi tidak puas. Termasuk didalamnya adalah sikap manajemen, teman sejawat, sarana, prasarana kantor, gaji, serta tunjangan-tunjangan lainnya.

Adapun faktor motivator merupakan faktor-faktor yang mampu membuat kepuasan kerja bagi karyawan. Faktor ini lebih banyak berasal dari internal diri karyawan dan pekerjaannya seperti pencapaian, etos kerja, sifat pekerjaan, tanggung jawab dari pekerjaan, dan promosi. Gambaran dapat dilihat di Exhibit 2.

Exhibit 2. Herzberg View

Cukup menarik jika kita melihat relevansinya antara ekspresi ketidakpuasan dengan faktor Hygienis dari teori 2 faktor. apabila terpenuhi faktor Hygienis mampu membuat karyawan tidak menjadi tidak puas. Dengan kita melihat pemicunya ketidakpuasan seperti contoh dalam hal ini adalah tekanan inflasi, maka perlu kiranya Top Manajemen mengembangkan suatu program “bottom up” peningkatan kesejahteraan misalnya kenaikan gaji berkala seiring kenaikan laju inflasi tahunan atau proporsional dengan kenaikan gaji Top Manajemen. Bank Mandiri memang bagus menjadi pionir penerapan single salaries, akan jauh lebih bagus jika dalam penerapannya disesuaikan dinamika lingkungan sekitar. Atau mencoba mengakomodir “keinginan menggema” dari para karyawan Bank Mandiri yaitu dengan pemberian kredit bersubsidi bagi karyawan guna meredam “kecemburuan” terhadap karyawan Bank BUMN lain yang juga sama-sama direkapitalisasi.

Kami sadar program kenaikan gaji karyawan memang memiliki hubungan terbalik dengan “rapor” Top Manajemen, bagaimana Manajemen mempertanggungjawabkannya kepada Shareholders. Tetapi jika kita bandingkan dengan total kerugian/loss akibat adanya tindak Manipulasi, rasanya Kenaikan gaji jauh lebih kecil pengaruhnya terhadap Laporan Rugi Laba dan pengaruhnya mampu memberikan kesejukan kepada semua karyawan. Kemampuan manajemen mengakomodir keinginan seperti ini berarti prestasi besar pula yang mampu menyelesaikan salah satu “pekerjaan rumah”. Hal ini akan memberi pijakan/pondasi kuat guna membangun Bank Mandiri secara sehat dan senasib sepenanggunangan.


Penulis : TSAO Hub Jakarta Plaza Mandiri dan Mahasiswa MMUI