Thursday, October 21, 2004

Memimpin Dengan Hati

Pada pemilu lalu kita sebagai bangsa Indonesia telah memilih seorang SBY sebagai pemimpinnya. Kerry atau Bush yang akan dipilih bangsa Amerika? Saat ini menjadi isu penting dunia. Kepemimpinan (leadership) akan selalu menjadi topik hangat baik di masyarakat ataupun di dalam sebuah organisasi. Kenapa selalu hangat untuk dibicarakan? Karena jelas pemimpin akan menentukan arah keberhasilan dari sebuah organisasi.

Motivasi penulis untuk belajar akan leadership ini tidak lepas dari berbagai gaya leadership beberapa atasan penulis selama bekerja di Bank kita tercinta ini. Selalu terdapat perbedaan mencolok setiap terjadi pergantian pimpinan khususnya dalam gayanya mereka memimpin unit bisnis. Atas perbedaan itulah, penulis berupaya mencari sebuah model terbaik yang bisa diterapkan kita dalam berorganisasi khususnya di dalam Bank Mandiri guna mengantisipasi perkembangan pasar.

Di perpustakaan Bank Mandiri penulis bersyukur menemukan literatur majalah Harvard Business Review edisi Januari 2004 yang didalamnya berisi berbagai kumpulan artikel terbaik tentang Leadership yang pernah dimuat majalah tersebut. Dan yang menjadi perhatian adalah artikel tahun 1998 yang berjudul “What Makes a Leader” yang ditulis oleh Daniel Goleman, seorang pakar perilaku organisasi New Jersey,USA.

Artikel tersebut menyebutkan bahwa di dalam sebuah leadership memang dibutuhkan Kecerdasan otak (IQ) dan penguasaan keahlian bidang (technical skill). Namun saat ini yang menjadi qualifikasi utama dalam leadership adalah justru kecerdasan emosional (Emotional intelligent) atau lebih populer dengan istilah EQ. Kecerdasan emosional ini dijelaskan secara gamblang oleh unsur-unsur yang berhubungan erat dengan hati nurani. Unsur-unsur tersebut adalah mawas diri, menahan diri dan tenggang rasa. Mari kita ulas satu persatu.

Unsur pertama adalah mawas diri (Self Awareness), yaitu kemampuan untuk mengenali dirinya sendiri. Hal ini juga berarti mengerti akan perasaan hati sendiri, kelebihan dan kelemahan pribadi, ambisi serta keinginan diri. Sebagai pemimpin, maka dia harus menahami bahwa suasana atau perasaan hatinya akan mempengaruhi bawahan dan prestasi kerjanya. Dan komponen mawas diri dapat dikenali dari ciri-cirinya yaitu percaya diri, jujur dan realistis.

Unsur kedua adalah menahan diri (self regulation), yang menunjukkan kemampuan mengontrol dirinya untuk tidak melakukan tindakan yang gegabah, terburu-buru atau dadakan (impulsif). Dia akan selalu hati-hati mengedepankan pertimbangan sebelum bertindak. Unsur kedua ini sangat dibutuhkan pemimpin untuk menciptakan kepercayaan dan keadilan serta untuk selalu siap menghadapi perubahan dalam persaingan sengit usaha dan munculnya ambiguitas.

Terakhir adalah tenggang rasa (Empathy). Unsur ini merupakan kemampuan seseorang untuk mengerti lebih dalam dari perasaan orang lain atau bawahan. Tenggang rasa berarti pula keahlian memperlakukan orang lain termasuk di dalamnya reaksi perasaan mereka. Saat ini tenggang rasa dibutuhkan pemimpin mengingat tiga aspek krusial yaitu kebutuhan mendasar akan sebuah tim kerja dimana seorang pemimpin harus sadar dan mengerti akan perhatian masing-masing bawahannya. Kedua, menghadapi era globalisasi dalam hal memperlakukan karyawan dan konsumen manca negara. Dan terakhir, kepentingan untuk menahan kepindahan karyawan potensial.

Pertanyaan selanjutnya, dapatkah kecerdasan emosional ini dipelajari? Menurut Steven Gutstein, psikolog sekaligus ahli Autis dari Houston (USA) menyebutkan bahwa kecerdasan emosional ini digunakan sebagai alat terapi bagi penderita autis. Jadi, apabila penderita autis dapat mempelajarinya maka setiap orangpun mampu melakukannya.

Dan kecerdasan emosional ini mempunyai keunikan tersendiri yaitu tidak dapat dipelajari hanya melalui seminar ataupun training satu-dua minggu saja. Hal ini karena kecerdasan emosional berada di neurotransmitter dari sistem Limbic otak kita. Latihan terbaik untuk Sistem Limbic diberikan melalui latihan yang kontinyu dalam waktu lama. Selain itu membutuhkan pula motivasi diri yang tinggi dan adanya umpan balik. Guna bahan umpan balik, dibutuhkan keberanian untuk membuka diri atas kritikan dari teman sejawat atau bahkan bawahan.

Akhir kata, Memang tidak mudah untuk mencetak seorang pemimpin yang ideal dan dibutuhkan pula proses waktu yang panjang serta komitmen tinggi untuk kita bisa mempelajari sebuah kecerdasan emosional. Namun demikian, memimpin dengan hati dalam kecerdasan emosional tinggi mempunyai manfaat ganda apabila kita mampu menerapkannya yaitu bagi diri pribadi maupun bagi Bank Mandiri tempat kita bekerja selama ini.

Penulis:
Dede Parasade
TSAO Hub Plaza Mandiri