tag:blogger.com,1999:blog-134469312024-02-19T11:51:12.945+07:00Parasade's IdeasContaining of my ideas which I have written dan published in internal buletin in my company where I worked.
Almost all my article write about Management issues, marketing and also about Human Resources Development.
I hope my article give all the people inspirations.
Thanks to the people who spare time to read my article.Dede Parasadehttp://www.blogger.com/profile/05043056964927886712noreply@blogger.comBlogger21125tag:blogger.com,1999:blog-13446931.post-66624979475642816162011-06-17T10:34:00.003+07:002011-06-17T10:49:05.453+07:00COAL, How to secure the Coal purchasing from IndonesiaInternational trade transaction expose so many risks in examples; inconsistent quality, under shipment or late shipment. Even though already using LC, you still bearing the risks. More over when your commodity is COAL.<br /><br />Yes, you are right. You have to outsource systematic instrument parties to secure the transaction. and the answer are :<br /><br /><ul><br /><li>Your sugestion to your COAL supplier for using CMA scheme.</li><br /><br /><li>as Importer, you have to open LC in Top 200 banks (bankers almanac version) </li></ul>Inventory financing by CMA are tripartiet agreement. involve three parties as below:<br /><br /><br /><ol><br /><li>Client, COAL exporter who propose the financing from the bank</li><br /><li>Bank, set up due diligence the client and provide inventory financing with pre export financing and post export financing in Indonesia </li><br /><li>Collateral manager, secure the COAL at stockpile and make sure the quality & quantity the COAL at stockpile. issue the the warehouse receipt. </li></ol><br /><p>For detail informations, don't hesitate contact me at dedep@dbs.com</p>Dede Parasadehttp://www.blogger.com/profile/05043056964927886712noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-13446931.post-25432788711601113422008-10-24T14:14:00.008+07:002008-10-24T14:34:45.345+07:00Lonceng Kematian LC<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj8HKLfo6BCGDfGccQBGfx7jyAD4ZRlboEOOxzgImOfyDpVgQlSNcRIWbHIhe1LRqnWh6YiuHO61bV8Rpz2PSy4YgZVy_Xjn3GtPtj9Ak9yWgiHjz96xl5VVIxjIBM_ys9fqnef/s1600-h/Non+LC.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5260616217342981730" style="FLOAT: right; MARGIN: 0px 0px 10px 10px; WIDTH: 298px; CURSOR: hand; HEIGHT: 186px" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj8HKLfo6BCGDfGccQBGfx7jyAD4ZRlboEOOxzgImOfyDpVgQlSNcRIWbHIhe1LRqnWh6YiuHO61bV8Rpz2PSy4YgZVy_Xjn3GtPtj9Ak9yWgiHjz96xl5VVIxjIBM_ys9fqnef/s320/Non+LC.jpg" border="0" /></a><br /><div><span style="font-family:trebuchet ms;font-size:85%;">Beberapa kali kesempatan penulis berjumpa dengan beberapa Relationship Manager (RM) yang mengeluhkan tentang trend penurunan transaksi Letter of credit (LC) ekspor nasabah. Ketika para RM lakukan konfirmasi dengan nasabahnya, dinyatakan bahwa tingkat penjualan ekspor nasabah sebenarnya naik namun tidak menggunakan LC. Muncul pertanyaan sederhana dari para RM, Apa yang terjadi dengan transaksi LC ekspor nasabah pada akhir-akhir ini?<br /></span></div><br /><div><span style="font-family:trebuchet ms;font-size:85%;">Keluhan para RM sebenarnya cukup beralasan apabila kita cermati data transaksi ekspor non migas versi Bank Indonesia. Terlihat pada gambar 1 bahwa di tahun 2007 data ekspor non migas Indonesia yang menggunakan LC sebagai alat bayar hanya tinggal 15 % saja! Dari tahun ke tahun porsi LC menunjukkan trend yang terus menurun.<br />Dan gejala menurunnya pembayaran dengan LC dalam transaksi ekspor impor sebenarnya sudah menjadi trend dunia sekarang. Lembaga Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication - SWIFT menginformasikan bahwa porsi LC sebagai alat bayar di perbankan internasional hanya tinggal 10% saja. Setiap tahunnya porsi LC alami laju penurunan. Sehingga bukan bermaksud hiperbolik penulis memberikan judul artikel ini adalah Lonceng Kematian LC.<br /></div></span><br /><div><span style="font-family:trebuchet ms;font-size:85%;">Menjawab pertanyaan diatas, terdapat beberapa riset trade yang menyimpulkan 3 (tiga) faktor dominan penyebab turunnya penggunaan LC sebagai alat bayar. Mari kita bahas satu persatu faktor tersebut. Faktor pertama, Transaksi menggunakan LC itu mahal. Hampir semua bank mempunyai tarif yang serupa untuk LC misalnya tarif untuk provisi pembukaan LC impor sebesar 0,5% dan untuk provisi negosiasi ekspor tarifnya 0,125%. Apabila nilai transaksi ekspor impor bernilai USD 100,000 artinya di sisi importir harus keluarkan biaya USD500 dan pada sisi eksportir harus keluarkan biaya provisi USD125. Jika kita bandingkan untuk collection (NON LC) yang mempunyai tarif USD 50 tanpa melihat berapapun besar nilai transaksinya. Oleh karena itulah nasabah beralih ke transaksi NON LC yang terdiri dari transaksi transfer TT atau collection (document against payment dan document againts acceptance).<br /></div></span><br /><div><span style="font-family:trebuchet ms;font-size:85%;">Faktor kedua adalah Jalinan dagang yang semakin erat antara eksportir dan importir sehingga dipandang tidak perlu lagi menggunakan instrumen LC dan mereka sepakat untuk beralih melakukan transaksinya dengan NON LC. Pada awalnya LC muncul karena ketidakpercayaan antara eksportir dan importir sehingga membutuhkan pihak ketiga yang sama-sama dipercaya yaitu lembaga perbankan. Akan tetapi tatkala derajat hubungan kedua pihak itu meningkat seiringnya dengan waktu bertransaksi, mulailah mereka melirik instrumen NON LC.<br /></span></div><br /><div><span style="font-family:trebuchet ms;font-size:85%;">Faktor terakhir yang kerap kali disebut-sebut para eksportir adalah menggunakan transaksi LC itu rumit dan memakan waktu lama. Pertama, disebut rumit karena eksportir harus menyusun dan membuat dokumen-dokumen yang sama persis dengan apa yang dipersyaratkan didalam LC. Apabila tidak sesuai syarat LC maka bank akan sebut discrepancy dan bahkan bank berhak menolak pembayaran atas dokumen meski kondisi discrepancies-nya tidak berarti, rumit kan? Kedua, membayar transaksi perdagangan dengan LC memerlukan waktu yang lama. Waktu normal saja untuk proses pembayaran LC sudah membutuhkan 14 hari kerja (sama dengan 3 minggu hari kalender) dan belum lagi ditambah delay payment apabila terjadi discrepancies dokumen, bisa 1 bulan lamanya. Sedangkan jika nasabah menggunakan transaksi non LC waktunya cukup 5 – 10 hari kalender saja.<br /></div></span><br /><div><span style="font-family:trebuchet ms;font-size:85%;">Memang Bisnis LC ekspor di Bank Mandiri saat ini masih menarik, kuasai pangsa pasar LC nasional 40% dengan menghasilkan fee based sebesar Rp80 milyar namun bukan hal yang patut dibanggakan. 15 tahun ke depan LC mungkin sudah mati sebagai produk. Untuk itulah kita harus proaktif untuk menggarap pasar NON LC (Porsi yang 85% ekspor nasional – gambar 1) dengan menyiapkan dua “pekerjaan rumah” (PR) di depan mata. PR Pertama untuk para RM yang sudah harus mulai “pede” memasarkan produk komplementer yaitu PWE NON LC ( SE No. 009/UMM/CMB.WPM/2007 tanggal 12 Juli 2007) sehingga Bank tetap dapat berperan dalam proses perdagangan nasabahnya. PR Kedua yaitu kita sebagai bank harus menyiapkan produk subtitusi yaitu produk pembiayaan yang disesuaikan dengan setiap mata rantai kegiatan usaha nasabah yang biasa dikenal sebagai value chain financing. Produk tersebut antara lain Purchase Order (PO) Financing, warehouse financing, Invoice Financing, Non LC Financing ataupun Bill of Lading (B/L) Financing.<br /></div></span><br /><div><span style="font-family:trebuchet ms;font-size:85%;">Ahir kata, inilah perkembangan bisnis yang sedang kita hadapi. Dalam product life cycle, LC telah memasuki tahap penurunan dan menuju taraf kematian. Menjadi tanggung jawab kita sebagai mahluk kreatif untuk menjawab tantangan jaman yang berubah cepat. Seperti pepatah kuno mengatakan hilang satu, tumbuh seribu. Esa hilang dua terbilang. LC boleh hilang, value chain financing siap menggalang.</span></div>Dede Parasadehttp://www.blogger.com/profile/05043056964927886712noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-13446931.post-67042709250652745792008-04-23T18:42:00.000+07:002008-04-23T18:53:13.008+07:00Negosiasi Wessel Ekspor<span style="color:#3333ff;">Negosiasi wessel ekspor (nego WE) adalah sebuah kalimat yang sering kali terdengar, terbaca ataupun terpaparkan di kalangan komunitas trade dan bisnis unit khususnya untuk segmen corporate, commersial ataupun small business. Kalimat ini sebenarnya merupakan transaksi harian biasa dalam proses bisnisnya nasabah menghasilkan pendapatan namun yang cukup mengherankan, rupanya kalimat ini masih menjadi momok bagi sebagian pihak dan bisnis unit di Bank Mandiri. Seringkali diikuti pertanyaan berikutnya yaitu bagaimana kalau terjadi unpaid?<br /><br />Transaksi ekspor sendiri merupakan proses produsen untuk memasarkan barang atau jasanya ke luar negeri. Cara pembayarannya bisa menggunakan letter of credit (L/C) atau non L/C sesuai kesepakatan pembeli dan penjual di dalam sales contract. Biasanya cara pembayaran dengan L/C mempunyai rata-rata jangka waktu penagihan selama 14-21 hari kerja. Karena lamanya jangka waktu penagihan inilah memunculkan kebutuhan nasabah untuk negosiasi wessel ekspor. Negosiasi disini artinya bank mengambil alih dahulu tagihan nasabah atas dasar wessel/draft beserta dokumen-dokumen yang diminta dalam L/C. Seringkali dokumen yang diberikan ke bank dalam kondisi tidak sesuai dengan syarat L/C yang disebut istilahnya discrepancy. Disinilah bisnis unit harus memutuskan untuk menegosiasi atau meng-collect wessel ekspor tersebut.<br /><br />Atas dasar kondisi tersebut diatas penulis ingin memaparkan aspek-aspek berkaitan Nego WE ini. Uraian yang pertama, bahwa transaksi ekspor adalah bagian dari proses piutang dagang (account receivables) nasabah. Dan ketika bank melakukan nego WE nasabah, hal ini bermakna ganda. Makna pertama, bank ikut serta proses bisnis nasabah khususnya membantu nasabah dalam hal percepatan mengubah tagihan piutang dagang menjadi kas. Makna kedua adalah pengawasan melekat, bank secara tidak langsung ikut mengawasi proses produksi nasabah khususnya disisi penjualan produknya. Hal ini berkaitan bank melakukan pengelolaan kredit nasabah. Menurut hemat kami, kedua makna tadi jauh lebih baik daripada melakukan analisa laporan keuangan nasabah yang sifatnya past performances.<br /><br />Pemaparan kedua mengenai resiko tidak dibayar (unpaid) yang sering dikumandangkan oleh pihak-pihak “phobia-nego”. Memang ada kemungkinan tidak dibayar wessel ekspor dalam kondisi dokumen discrepancy. Namun disini penulis ingin menggarisbawahi tiga hal mengenai isu unpaid ini. Pertama, secara statistik, kecil sekali terjadi unpaid.dalam kurun waktu 3 tahun ini, kasus unpaid hanya terjadi sekali sebesar USD 800 ribu dari total ekspor di Bank Mandiri rata-rata sebesar USD 4 milyar per tahun. Dan kasus inipun adalah fraud dimana terjadi penipuan dokumen oleh nasabah. Kedua, secara statistik 90% dokumen ekspor dikirim dalam kondisi discrepancy dan selama ini selalu dibayar. Ketiga, mitigasi resiko atas terjadinya unpaid telah disempurnakan dari tahun ke tahun, seperti bisnis unit wajib menetapkan trade line bagi nasabahnya untuk dapat melakukan nego WE tidak sesuai dengan syarat L/C (discrepancy). Kemudian kita mempunyai hak regres (with recourse) yaitu kita akan mendebet kembali rekening nasabah apabila 30 hari tagihan WE belum dibayar issuing bank.<br /><br />Yang tak kalah pentingnya berkaitan penanganan nego WE ini Bank Mandiri telah melakukan segregation of duty yang cukup jelas dimana ada tiga pilar dalam bisnis proses trade pilar. Pertama adalah Bisnis Unit yang menetapkan trade line untuk nasabah. Kemudian kedua, ada Trade Servicing Center yang selalu siap sedia membantu nasabahnya untuk menyusun dokumen yang comply with dengan persyaratan L/C. Pilar terakhir, kita pula telah memiliki Bill Processing Center yang melakukan pengecekan dokumen secara teliti dan cermat dengan standar baku praktek perbankan.<br /><br />Pemaparan terakhir yang menarik adalah meningkatnya trend pembayaran ekspor di dunia dengan non L/C dimana 90% transaksi ekspor nasabah dilakukan tanpa L/C dan ini berarti hanya tinggal 10% transaksi menggunakan L/C. Data BI dan BPS menyebutkan dari USD 112 milyar ekspor indonesia tahun 2007, hanya tinggal USD 12 miliar saja transaksi ekspor menggunakan L/C. Cara pembayaran dengan Transaksi non L/C menggunakan berbagai cara seperti konsinyasi, collection, open account ataupun transfer valas biasa. Hasil survey nasabah menyebutkan salah satu alasan penurunan transaksi dengan L/C adalah mahal dan rumitnya melakukan transaksi L/C di bank. Hal ini tentunya berarti menurunnya kesempatan bank untuk raih pendapatan dari nego WE.<br /><br />Akhir kata, meskipun secara umum transaksi ekspor dengan L/C mulai ditinggalkan eksportir, penulis tetap mengajak kepada semua pihak terkait di Bank Mandiri untuk lebih giat lagi melakukan nego WE nasabahnya karena penghasil fee based income. Penulispun menghimbau untuk tidak menjadikan nego WE menjadi sebuah momok lagi atau bahkan menjadi phobia. Sebab hal ini semua merupakan perwujudan kita untuk mencapai tahapan outperform of the market.<br /><br /><br />Penulis;<br />Dede Parasade</span><br /><span style="color:#3333ff;">Wholesale Product Management Group</span>Dede Parasadehttp://www.blogger.com/profile/05043056964927886712noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-13446931.post-7408491779520636872007-11-14T13:24:00.002+07:002008-09-06T21:13:55.059+07:00Habis Manis Sepah DisayangCukup terhenyak ketika ibunda penulis divonis gagal ginjal oleh tim dokter RS PGI Cikini di awal Juli 2007 lalu. Sebagai bentuk rasa tanggung jawab, kami sekeluarga langsung berpikir keras bagaimana pembiayaan atas pengobatan penyakit terkenal cukup mahal tersebut. Dan di hari berikutnya, Alhamdulilah, ayahanda memberitahukan bahwa adanya penggantian dari asuransi atas pengobatan ibunda selama di rumah sakit. Asuransi ini berkat hasil dari program asuransi kesehatan pensiun yang diikuti ayahanda ketika masih aktif berkarya di salah satu Bank BUMN jagonya micro banking.<br /><br />Ayahanda kemudian menceritakan pada satu saat ketika beliau masih aktif, bank tempatnya beliau bekerja mengenalkan program asuransi kesehatan pensiun yang sifatnya sukarela dimana preminya 30% ditanggung pegawai dan sisanya ditanggung oleh bank tersebut. Karena beliau berpikiran bahwa di kondisi pensiun, tak pelak lagi kebutuhan kesehatan akan meningkat drastis. Biaya pengobatan akan melonjak mengingat seringnya aktifitas kunjungan ke dokter dan menebus obat di apotik. Dan tak jarang pula kita membutuhkan biaya rawat inap rumah sakit yang besar. Kenaikan biaya kesehatan ini menjadi masalah pelik ketika harus dihadapkan pada menurunnya pendapatan seorang pensiunan yang mana hanya menerima sebesar 30% dari total pendapatan ketika masih bertugas. Setelah asyik bercerita kemudian beliau bertanya ke penulis dengan logat sunda yang kental, ”Aa, kalau di Mandiri teh aya henteu (ada tidak) program asuransi kesehatan pensiun?”<br /><br />Pertanyaan ayahanda tadi cukup menyadarkan penulis atas pentingnya program asuransi pensiun dan penulis ingat kembali pada satu statement Dirut kita Bapak Agus Martowardojo yang menyatakan sedang dikajinya asuransi kesehatan bagi pensiunan Bank Mandiri. Alternatif solusi yang dapat diketengahkan pada kesempatan ini dalam bentuk kebijakan Manajemen untuk kembali mengadakan asuransi kesehatan bagi pensiunan seperti halnya jaman ex legacy terdahulu. Asuransi ini dibentuk dari potongan gaji karyawan sebesar 5% dan ditawarkan dalam bentuk pilihan atau opsi kepada seluruh karyawan. Sehingga asuransi kesehatan ini bersifat swadana atau atas kemampuan sendiri dari para karyawan.Selain sumber swadana karyawan, alangkah lebih baik apabila penyisihan atas dana asuransi kesehatan ini dapat ditambahkan dari penyisihan (misalnya) 20% dari porsi kesejahteraan karyawan di dalam laba bersih bank. Penyisihan laba ini dibutuhkan kebijakan dari pihak Manajemen dan hal ini merupakan bentuk tanggung jawab moral atas Manajemen terhadap masa depan seluruh karyawan.<br /><br />Setelah Bank Mandiri menyisihkan dana asuransi kesehatan pensiunan, tentunya kita membutuhkan lembaga pengelola asuransi kesehatan yang profesional. Mudah bagi kita memilih lembaga tersebut, sebut saja PT ASKES yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Ataupun pengelolaan dana asuransi kesehatan pensiunan ini diserahkan pada anak perusahaan Bank Mandiri seperti PT AXA Mandiri yang sudah bergerak di bidang asuransi jiwa.<br /><br />Kita semua wajib menyiapkan sejak dini masa pensiun kita masing-masing dengan baik dan sudah selayaknya kita bersedia untuk menyisihkan pendapatan guna menyongsong masa pensiun. Proses penyisihan dana untuk asuransi kesehatan pensiun ini jauh lebih baik apabila dilakukan secara sistematis dan memperoleh dukungan penuh pula dari pihak Manajemen Bank Mandiri hingga kita bisa mengubah peribahasa lama kita menjadi ”habis manis sepah disayang”.<br /><br />Penulis:<br />Dede Parasade<br />Wholesale Product Management GroupDede Parasadehttp://www.blogger.com/profile/05043056964927886712noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-13446931.post-83162485347883865032007-08-16T18:38:00.000+07:002007-08-16T18:42:15.525+07:00Prosiklikalitas Perbankan NasionalKita semua rupanya agak terkejut ketika membaca berita di kompas pada tanggal 23 februari 2007 yang berjudul laba bank tumbuh semu. Diberitakan bahwa dimana ada pertumbuhan laba perbankan nasional tumbuh 16% justru dari penempatan dananya di sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat Utang Negara (SUN) dan bukan berasal dari bisnis kredit. Kondisi ini aneh karena fungsi dari bank tersebut sebagai lembaga intermediasi, jadi seharusnya bank memperoleh keuntungan terbesar dari kegiatannya menyalurkan kredit. Sebenarnya dari berita tersebut dapat mensiratkan beberapa indikasi dan kesimpulan bagi kita semua yaitu pihak perbankan sendiri, pemerintah dan masyarakat dunia usaha nasional serta kondisi perekenomian nasional kita secara makro.<br /><br />Indikasi yang paling utama bahwa perbankan nasional memang masih belum bersedia untuk melakukan ekspansi ekspansi kredit pada saat indonesia yang tengah mengalami masa resesi pada 2 tahun terakhir. Kondisi inilah yang dinamakan adanya kondisi prosiklikalitas dalam perbankan nasional. Kondisi prosiklikalitas ini artinya bahwa bank mengurangi ekspansi kredit (underlending) pada kondisi perekonomian mengalami resesi. namun sebaliknya perbankan biasanya akan melakukan overlending pada saat kondisi perekonomian berkembang pesat (booming). <br /><br />Cukup dipahami perbankan nasional saat ini berusaha membatasi ekspansi kredit ke sektor riil, hal ini karena masih tingginya tingkat kredit macet (non ferforming loan - NPL) dari sektor riil juga. kita bisa lihat NPL bank-bank BUMN tahun 2007 seperti Bank Mandiri Gross NPL-nya sebesar 17,86% atau Bank BNI yang masih 11%. Kondisi ini juga dikuatkan dengan pernyataan Dirut Bank Mandiri, Agus Martowardojo bahwa Bank Mandiri masih akan tetap fokus pada penyelesaian kredit macetnya di tahun 2007. <br /><br />Tingginya kredit macet menyebabkan tingginya biaya pencadangan kredit macet tersebut. seperti kita ketahui bahwa bank berbeda dengan industri lainnya, dimana bank wajib mencadangkan biaya kredit macetnya sebesar 100%. Ini artinya bank sudah merugi 300% yaitu 100% dari asetnya yang macet, 100% untuk biaya pencadangan kredit macet tersebut serta 100% untuk opportunity cost. Tinggi biaya pencadangan ini tentunya sangat berpengaruh dan membebani pada kondisi keuangan internal bank-bank tersebut.<br /><br />Indikasi berikutnya adalah di dalam kondisi resesi ekonomi memaksa perbankan nasional bertindak rasional dengan tetap harus memegang prinsip kehati-hatian perbankan(prudential banking). Hal ini berarti bahwa bank harus tetap melangsungkan bisnisnya yaitu menghimpun dana masyarakat kemudian mempertahankan aset kredit lancar yang ada serta menempatkan dananya tidak pada ekspansi kredit namun secara realistis menempatkan pada SBI dan SUN. Hal ini artinya perbankan nasional secara bertanggung jawab menjaga kepercayaan masyarakat untuk tetap solvabel dan likuid. <br /><br />Sebagai implikasi kondisi prosiklikalitas perbankan nasional adalah tingginya pengendapan dana perbankan pada SBI dan SUN serta besarnya biaya bunga yang harus dibayarkan otoritas moneter dan pemerintah. Sesuai keterangan Gubernur Bank Indonesia, Burhanuddin Abdullah pada Kompas tanggal 27 Februari 2007, memperkirakan nilai SBI di akhir tahun 2007 bisa mencapai Rp 300 triliun atau naik drastis 26% dari posisi Februari 2007 yang sebesar Rp 237 triliun. Dengan bunga SBI yang harus dibayarkan sebesar Rp 25 triliun dan bunga SUN sebesar Rp 65 triliun. Besarnya beban bunga SBI dan SUN yang harus dibayarkan ini merupakan suatu harga resiko sistem moneter nasional. Kita tetap harus selalu ingat bahwa suatu bank memiliki Systemic Risk yang mana kegagalan suatu bank dapat menyebabkan kerusakan pada sistem perekonomian nasional.<br /><br />Indikasi yang terlihat jelas adalah bahwa saat ini kondisi perekonomian Indonesia dalam 2 tahun ini memang tengah mengalami resesi. Sayangnya bahwa pemerintahan SBY saat ini tidak berani untuk menyatakan kita dalam kondisi perekenomian yang sedang "prihatin". Hal ini berbeda semasa orde baru yang selalu mengumumkan kondisi resesi ekonomi, seperti adanya kebijakan tight money policy.<br /><br />Sebagai kesimpulan akhir, penulis menghimbau kepada pemerintah beserta pihak terkait untuk tidak menekan, mendorong-dorong atau menginstruksikan perbankan nasional untuk melakukan ekspansi kredit di masa resesi ekonomi seperti ini. Sebenarnya perbankan nasional beroperasi sesuai mekanisme pasar dan hal ini dapat dijelaskan pada kondisi prosiklikalitas. Apa yang dilakukan perbankan nasional adalah langkah terbaik demi kelangsungan hidup (business survival) bank itu sendiri dan guna menghindari kejatuhan kembali bank-bank seperti halnya pada krisis ekonomi tahun 1998. Salah satu alternatif solusi yang bisa disampaikan adalah pemerintah harus berusaha semaksimal mungkin untuk memperbaiki iklim investasi dan usaha nasional sehingga sektor perbankan kembali aktif berpartisipasi sehat dalam sistem perekonomian nasional yang dinamis.<br /><br /><br />Penulis:<br />Dede Parasade<br />Praktisi dan Pengamat PerbankanDede Parasadehttp://www.blogger.com/profile/05043056964927886712noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-13446931.post-17828179557623300202007-08-10T18:39:00.000+07:002007-08-10T19:09:25.484+07:00Wajah Ekspor Impor MandiriSeperti kita ketahui kegiatan ekspor-impor merupakan salah satu penghasil fee based income (FBI). Mungkin sebagian besar kita bertanya berapa total per tahun FBI yang dihasilkan transaksi ekspor-impor di Bank Mandiri. Jawabannya cukup singkat yaitu konstan diantara Rp 300 miliaran. Coba kita bandingkan dengan FBI yang diberikan treasury Group tahun 2006 sebesar Rp 530 miliar ataupun dari Mass Banking Group yang sebesar Rp 1 triliun! tentu jauh rupanya. Padahal apabila kita kembali melihat pada saat awal merger 4 bank legacy yang jagonya ekspor-impor, kegiatan ekspor-impor kita diprediksi menguasai pangsa pasar Indonesia hingga 50% namun kenyataannya saat ini rata-rata hanya 25% saja. Menjadi Pertanyaan utama adalah ada apakah dengan wajah transaksi ekspor-impor Bank Mandiri?<br /><br />Untuk menjawab pertanyaan diatas maka langkah awal kita perlu memetakan komponen-komponen yang menyertai kegiatan ekspor impor ini di Bank Mandiri. Paling tidak saat ini ada 3 (tiga) komponen utama yang berkaitan erat dan mempunyai fungsi masing-masing. Ketiganya adalah Bills Processing Center sebagai fungsi processing, Relationship Manager untuk fungsi sales serta Department Trade Service & Finance yang berfungsi sebagai pengembangan produk. Setelah memetakan fungsinya kemudian kita akan mengupas satu persatu komponen yang disebutkan di atas yang secara kebetulan saat ini berserakan struktur organisasinya di berbagai direktorat.<br /><br />Pertama, Bill Processing Center (BPC), sebenarnya pembentukan BPC secara desentralisasi di beberapa kota pada awal merger merupakan satu terobosan besar Bank Mandiri. Terobosan yang ada adalah melakukan standarisasi pelayanan dan pemrosesan transaksi ekspor-impor sehingga dihasilkan produk dokumen ekspor impor yang berkualitas. Kita patut bangga terobosan ini banyak ditiru oleh perbankan nasional. Namun sayang terobosan ini tidak diikuti dengan pengembangan lebih lanjut. Justru dalam perjalanannya, struktur organisasi BPC diserahkan pada Kantor Wilayah yang saat ini core businessnya adalah retail banking. Hal ini tentunya kurang sejalan dengan BPC yang sebagian besar melayani nasabah Commercial dan Corporate Banking.<br /><br />Kedua, Relationship Manager (RM) di Commercial dan Corporate Banking, yang mempunyai peran sebagai pemegang kewenangan atas nasabah. RM-lah yang memberikan fasilitas trade line untuk ekspor dan fasilitas non cash loan untuk pembukaan L/C impor. Saat ini, hanya saja fungsi RM lebih ke arah memelihara rekening yang ada sedangkan fungsi Sales-nya (menjual) atas transaksi ekspor-impor kurang begitu berjalan. Hal ini mungkin disebabkan banyaknya pekerjaan administratif kredit ataupun masih lemahnya produk knowledge. Sehingga bisa dipastikan apabila suatu produk yang tidak dijual maka produk tersebut kurang laku di pasar.<br /><br />Terakhir, Departemen Trade Service & Finance (TFS), yang berfungsi sebagai komponen yang bertanggung jawab atas pengembangan produk dan proses transaksi ekspor-impor di Bank Mandiri. Sebenarnya depatemen ini telah berinisiatif untuk mengembangkan bisnis baru ekspor impor Bank Mandiri dengan bekerja sama dengan konsultan kelas dunia AT Kearney namun sayang dalam implementasinya menemui berbagai hambatan. Saat ini departemen TFS merupakan bagian dari Grup wholesale Product Management sehingga kurang mempunyai kewenangan dan kurang lincah untuk melakukan terobosan pengembangan transaksi ekspor-impor.<br /><br />Dari paparan singkat di atas, dapat memberikan gambaran singkat bahwa komponen-komponen utama transaksi ekspor impor Bank mempunyai kelemahan struktural sehingga dengan kondisi demikian, sulit rasanya untuk dicapai namanya value creation. Dan sulit pula di capai sebuah koordinasi yang baik apabila ketiga fungsi yaitu processing, fungsi sales dan pengembangan produk masing-masing berada pada struktur organisasi yang berlainan di berbagai direktorat.<br /><br />Dari dua kesimpulan di atas, sebenarnya kita dapat melakukan breakthrough atas transaksi ekspor impor Bank Mandiri. Salah satu strategi populer yang biasanya ditawarkan konsultan Dunia adalah Benchmarking, yaitu kita dapat mempelajari langkah strategis yang sudah diterapkan bank-bank kelas dunia seperti HSBC, Citibank atau Deutch Bank. Untuk transaksi ekspor-impornya ketiga bank kelas wahid ini telah mengelola secara profesional dan mereka telah menggabungkan seluruh komponen transaksi ekspor-impor dalam sebuah grup atau divisi yang biasanya disebut Global Trade Division.<br /><br />Akhir kata, Nothing is impossible. Kita tentunya tidak mustahil untuk bisa menampilkan sebuah wajah ekspor impor Bank Mandiri yang jauh lebih cantik dan utuh dengan mewujudkan Global Trade Group/Division. Kita semua berharap agar dengan rancangan grup ini maka target fee based dari transaksi ekspor impor ini bisa jauh lebih besar sehingga mampu memberikan kontribusi terbesar bagi Bank tercinta ini dan menjadikannya Bank kita sebagai Multi Dominant Specialist. Amin!<br /><br />Penulis:<br />Dede Parasade<br />Wholesale Product Management GroupDede Parasadehttp://www.blogger.com/profile/05043056964927886712noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-13446931.post-1129623961340878452005-08-05T15:17:00.000+07:002006-02-17T20:37:24.480+07:00Officer Lokal<span style="font-family:times new roman;">Ketika penulis bertugas di cabang seringkali menjumpai para calon pegawai baru yang saat ini terkenal dengan program Officer Development Program (ODP). Pada saat para ODP ini melakukan masa job training di cabang, selalu penulis tanyakan secara iseng, apakah mereka siap ditempatkan di cabang di luar pulau Jawa? Semua jawaban mereka sama, saya tidak siap pak. kemudian diinformasikan bahwa mereka pasti ditempatkan cabang di luar Jawa setelah diangkat dan ditambahkan dengan antusias bahwa adanya jaminan dari Learning Center Group dan Human Capital Group (HCG) bahwa setelah paling lama 2 tahun para ODP ini akan ditarik ke Jakarta.<br /><br />Kemudian penulis mencoba mengamati jaminan HCG tersebut dan ternyata terbukti benar. Sebagian ditempatkan di kantor pusat dan sebagian lagi di cabang sekitar Jakarta. Atas fenomena tersebut, penulis menjadi ingat beberapa rekan seangkatan pada saat penulis memasuki ex. legacy Exim di akhir tahun 1997 yang waktunya nyaris bersamaan dengan proses merger. Banyak rekan yang ditempatkan di cabang luar Jawa dan hingga saat ini 'belum kembali'.<br /><br />Dan penulispun yakin dari ex ODP dari 4 ex.legacy masih banyak yang tertahan di cabang di luar Jawa. Kondisi merger ini memaksa mereka menjadi officer lokal. Belum lagi ditambah adanya kebijakan 'konsesi officer' bahwa officer tidak diijinkan keluar dari grup tertentu. Yang menjadi pertanyaan mendasar adalah sampai kapan para odp dari 4 exlegacy memperoleh perlakuan yang sama dengan junior mereka?<br /><br />Semua tentu setuju bahwa apabila kita merasa senang dan perasaan bebas akan memotivasi kita untuk hasilkan kinerja yang optimal. Bagaimana kita akan bekerja secara optimal apabila kita merasa 'terpenjara' dan tertahan di suatu tempat dalam kurun waktu yang lama. Terdapat beberapa riset tentang motivasi kerja menyatakan bahwa faktor internal mempengaruhi motivasi kerja sebesar 90%. Perasaan tidak bebas atau terpenjara tentunya berkaitan erat dengan faktor internal seorang pegawai. Sehingga bisa kita bayangkan apabila kondisi ini akan menyebabkan demotivasi dan akhirnya berdampak pada turunnya kinerja.<br /><br />Guna mengatasi masalah ini sebenarnya tidak terlalu rumit. HCG tinggal mendata berapa banyak officer ex legacy yang telah lama tertahan di cabang atau kanwil di luar Jawa. Kemudian secara bertahap menariknya. Kemudian menempatkannya pada posisi yang saat ini justru seringkali ditempati oleh tenaga kontrak (outsourcing). Guna mengisi kekosongan pos yang ditinggalkan maka sebelumnya disiapkan program perekrutan officer putra daerah.<br /><br />Sebenarnya program officer putra daerah telah dirintis beberapa waktu lalu dengan program putra daerah Papua. Program ini sebenarnya satu program 'jenius' dalam menyikapi satu momok besar menakutkan dalam penempatan kerja di daerah papua bagi seluruh pegawai. Program putra daerah ini dapat dikembangkan di sepuluh kanwil Bank Mandiri. Peserta program ini dapat berasal dari promosi pegawai clerk dan lulusan perguruan tinggi (<em>fresh graduate</em>). Bank Mandiri dapat bekerja sama dengan universitas negeri di luar pulau Jawa guna menjaring lulusan terbaik. Setelah mereka direkrut, ditraining kemudian ditempatkan di tempat asal. Dan tentunya dengan diberikan fasilitas yang sama dengan officer di kanpus ataupun di pulau Jawa.<br /><br />Program putra daerah ini mempunyai beberapa kelebihan yaitu pertama Bank Mandiri ikut serta dalam program pemerataan pembangunan dan distribusi pendapatan di seluruh wilayah indonesia. Kedua, putra daerah lebih mengerti potensi daerahnya dan jauh lebih fleksibel dalam melakukan penetrasi pasar. Ketiga, memudahkan HCG dalam mengatur penempatan officer di seluruh wilayah kerja. Terakhir, Bank Mandiri menjadi pelopor dalam menjembatani industri perbankan dengan perguruan tinggi negeri di indonesia khususnya di luar pulau Jawa.<br /><br />Akhir kata, semoga program officer lokal melalui program officer putra daerah dapat dikembangkan lebih lanjut oleh HCG mengingat efek multifliernya yang cukup meluas. Dan program ini sangat menunjang bagi arah ekspansi Bank Mandiri yang mengarah pada segmen consumer dan ritel di seluruh wilayah nusantara.<br /><br /><br />Penulis:<br />Dede Parasade<br /></span>Dede Parasadehttp://www.blogger.com/profile/05043056964927886712noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-13446931.post-1123117144234140122005-04-17T08:00:00.000+07:002006-02-17T20:39:54.380+07:00Berlaga Hadapi Assestment<span style="font-family:times new roman;">Bangga rasanya penulis melihat rekan-rekan clerk di berbagai cabang mengikuti program Staff Development Program (SDP). Satu program pengembangan karir guna mewujudkan cita-cita clerk untuk menjadi seorang officer. Program ini mengantarkan seorang pegawai pada satu tahap dimana mengandung arti tanggung jawab yang lebih besar dan jenjang karir yang lebih luas sehingga wajar program ini begitu hebat memotivasi seluruh karyawan Bank Mandiri.<br /><br />Sehingga wajar untuk mengikuti program SDP ini dibutuhkan serangkaian tes yang cukup ketat. Mulai dari tes Bahasa Inggris kemudian dilanjutkan kepada aptitude test. Kedua tes ini merupakan saringan pertama untuk memperoleh calon officer dengan kualifikasi standar akademis tertentu. Sebagian peserta mampu lolos pada kedua test ini. Selanjutnya adalah tes assesment dan justru pada tes inilah banyak sekali peserta bertumbangan alias tidak lulus. Atas hasil tes tersebut akhirnya menimbulkan berbagai spekulasi dan bahkan kontroversi. Pertanyaan mendasar muncul adalah “Kenapa saya tidak lulus? Padahal saya menjawab dengan lancar”. Atas realitas yang terjadi, tak ayal lagi tes assestment ini menjadi momok bagi seluruh peserta tes SDP di Bank Mandiri.<br /><br />Atas fenomena ini, cukup menarik perhatian penulis untuk menyimak “tes gugurkan harapan”. Kemudian penulis mencoba melakukan riset ringan bersama teman-teman yang tidak lulus. Kami mencoba melalui pendekatan focus disscusion group (FGD) yaitu berdiskusi dalam kelompok kecil guna membahas masalah yang dihadapi dan hasilnya diperoleh beberapa kesimpulan mengenai tes assesment ini.<br /><br />Ternyata tes assesment adalah test berupa wawancara dengan psikolog guna melihat secara langsung secara penampilan, perilaku dan aksi-reaksi sebagai calon officer. Berdasarkan informasi, aspek-aspek yang dinilai pada test ini sebagai berikut; pekerjaan yang dilakukan, pelayanan terhadap nasabah, hubungan kerja antar karyawan, pengambilan keputusan dan ide dalam pekerjaan. Berdasarkan aspek-aspek tersebut maka kami mencoba merumuskan panduan bagaimana menghadapi tes assestment dengan baik.<br /><br />Panduan pertama adalah mempersiapkan diri anda dengan menumbuhkan kepercayaan pada diri sendiri atau bahasa populernya menjadi PEDE. Gunakan moment pada kesempatan pertama anda untuk menarik simpati pewawancara (first impression) dan jangan lupa pula senyumannya. Disaat wawancara berlangsung usahakan sikap badan tetap tegap dan berusaha membangun komunikasi dua arah yang seimbang. Singkat kata, anda harus “menjual diri” kepada pewawancara.<br /><br />Kedua, belajarlah untuk berpresentasi dengan topik pekerjaan anda saat ini. Caranya cukup mudah yaitu berlatih presentasi sendiri di depan cermin atau keluarga terdekat. Dalam persentasi itu, ceritakan dengan antusias dan teratur/runut tentang aspek-aspek dalam pekerjaan namun tidak perlu detail. Tunjukkan bahwa anda berdedikasi dan menyukai pekerjaan yang dilakukan. Dan anda harus bisa memastikan pewawancara bahwa pekerjaan anda tersebut mempunyai peranan penting untuk Bank Mandiri meski sekecil apapun pekerjaan itu.<br /><br />Ketiga, jangan ragu pula untuk menceritakan masalah pada pekerjaan yang dilakukan dan anda harus memberikan jalan keluar guna pemecahan masalah tersebut. Kemudian tunjukkan bahwa andapun berinisiatif untuk menolong rekan kerja apabila menemukan kesulitan dalam pekerjannya. Tak lupa pula bahwa di dalam bekerja anda berusaha menciptakan kader pengganti anda. Langkah-langkah ini dapat menunjukkan bahwa anda berusaha membangun tim kerja yang solid.<br /><br />Panduan terakhir berkaitan dengan customer services, yaitu tunjukkan bahwa anda berusaha menempatkan nasabah sebagai prioritas utama dalam pekerjaan karena pada intinya nasabah adalah sumber penghidupan bagi bank. Dan berikan pelayanan yang optimal bagi nasabah dan membantunya setiap saat meskipun di dalam pekerjaan anda tidak berhubungan langsung dengan nasabah.<br /><br />Demikian, semoga empat panduan diatas menjadi sebuah pendekatan taktis dalam menghadapi tes assesment di Bank Mandiri. Sebagai informasi tambahan, lima orang teman penulis yang bersama mengembangkan panduan ini akhirnya lulus setelah berlaga menghadapi tes tersebut. Jadi tidak ada salahnya bagi seluruh calon peserta tes assesment untuk mencoba. Selamat berjuang kawan!<br /><br /><br />Penulis:<br />Dede Parasade<br />CBC Jakarta Plaza Mandiri</span>Dede Parasadehttp://www.blogger.com/profile/05043056964927886712noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-13446931.post-1123117786243836472005-03-30T09:05:00.000+07:002006-02-17T20:59:42.253+07:00Dilematis Askes Pensiunan<span style="font-family:arial;">Cukup menarik perhatian ketika penulis membaca Kopi Panas terbitan Serikat Pegawai Bank Mandiri (SPBM). Kopi panas ini mengangkat berbagai isu dan topik kepegawaian yang berkembang di internal Bank Mandiri. Salah satunya adalah topik mengenai tunjangan atau asuransi kesehatan (Askes) bagi pensiunan. Pada topik tersebut diinformasikan bahwa askes bagi para pensiunannya Bank Mandiri ternyata telah ditiadakan dalam struktur gaji kita. Padahal di ex legacy askes tersebut pernah ada dan masih bisa dinikmati oleh para pensiunan ex legacy.<br /><br />Berdasarkan informasi Yayasan Dana Pensiun Ex Legacy, askes pensiunan dibentuk dari komponen Tunjangan Hari Tua (THT) dengan bagian sebesar 30%. Atas informasi tersebut kemudian penulis membandingkan antara slip gaji legacy dan Bank Mandiri dan hasilnya memang terdapat perbedaan yang signifikan pada THT. Potongan THT pada gaji ex legacy adalah sebesar 4% sedangkan proporsi pada gaji Bank Mandiri potongan THT-nya hanya sebesar 2% saja.<br /><br />Ketiadaan askes pensiunan di Bank Mandiri memunculkan kekuatiran tersendiri ketika kita sadari bahwa masa pensiun merupakan masa menurunnya daya tahan tubuh dan tingkat kesehatan seseorang. Pada kondisi ini, tak pelak lagi kebutuhan kesehatan akan meningkat drastis. Biaya pengobatan tentunya akan melonjak mengingat seringnya aktifitas kunjungan ke dokter dan menebus obat di apotik. Dan tak jarang pula kita membutuhkan biaya rawat inap rumah sakit yang besar. kenaikan biaya kesehatan ini menjadi masalah pelik ketika harus dihadapkan pada menurunnya pendapatan seorang pensiunan yang mana hanya menerima sebesar 30% dari total pendapatan ketika masih bertugas.<br /><br />Dibalik kebijakan penghapusan askes, cukup dimaklumi apabila pihak Manajemen mengambil kebijakan tersebut mengingat pada awal berdiri Bank Mandiri mengalami berbagai kekurangan dan kesulitan. Penghentian askes pensiunan ini sebagai akibat besarnya claim reimbursement yang ada pada saat itu sehingga mengakibatkan defisit dana kesehatan dari semua yayasan pensiunan semua legacy. Dan akhirnya pihak Bank Mandiri harus menutup semua defisit dalam jumlah yang cukup besar.<br /><br />Atas dilema yang terjadi tentunya perlu dipikirkan suatu alternatif pemecahan masalah yang menguntungkan kedua belah pihak baik dari karyawan maupun bagi pihak top manajemen. Alternatif solusi yang dapat diketengahkan pada kesempatan ini dalam bentuk kebijakan manajemen untuk kembali mengadakan askes bagi pensiunan. Asuransi ini dibentuk dari potongan gaji karyawan sebesar 5% dan ditawarkan dalam bentuk pilihan atau opsi kepada seluruh karyawan. Sehingga askes ini bersifat swadana atau atas kemampuan sendiri dari para karyawan.<br /><br />Selain sumber swadana karyawan, alangkah lebih baik apabila penyisihan atas dana askes ini dapat ditambahkan dari penyisihan (misalnya) 20% dari porsi kesejahteraan karyawan di dalam laba bersih bank ( sebesar 7,5%). Penyisihan laba ini tentunya dibutuhkan kebijakan dari pihak manajemen dan hal ini merupakan bentuk tanggung jawab moral atas manajemen terhadap masa depan seluruh karyawan.<br /><br />Setelah Bank Mandiri menyisihkan dana askes pensiunan, tentunya kita membutuhkan lembaga pengelola askes yang profesional. Mudah bagi kita memilih lembaga tersebut, sebut saja PT Askes yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Ataupun pengelolaan dana askes pensiunan ini diserahkan pada anak perusahaan Bank Mandiri seperti PT Axa Mandiri yang telah bergerak pada asuransi jiwa.<br /><br />Peribahasa “berakit-rakit ke hulu, berenang-renang gaya punggung. Bersakit-sakit dahulu, bertenang-tenang karena kita tanggung” sepertinya begitu cocok bagi kita yang pasti akan menghadapi masa pensiun. Oleh karena itu, kita semua wajib menyiapkan sejak dini masa pensiun kita masing-masing dengan baik dan sudah selayaknya kita bersedia untuk menyisihkan pendapatan guna menyongsong masa pensiun. Proses penyisihan dana untuk askes pensiun ini jauh lebih baik apabila dilakukan secara sistematis dan memperoleh dukungan penuh pula dari pihak Manajemen Bank Mandiri.<br /><br /><br />Penulis:<br />Dede Parasade<br />CBC Plaza Mandiri</span>Dede Parasadehttp://www.blogger.com/profile/05043056964927886712noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-13446931.post-1123117460789812842004-12-13T08:00:00.000+07:002005-10-14T17:55:32.310+07:00Mampukah BPC Dijual?<span style="font-family:times new roman;font-size:85%;">Mampukah BPC dijual? Sebuah pertanyaan penasaran penulis atas eksistensinya di Bank Mandiri. BPC atau singkatan dari Bill Processing Center mulai dikenal oleh kita semua sebagai pusat pengelolaan dokumen ekspor-impor dari Bank Mandiri. Tak jarang para frontliners dicabang-cabang sering menyebut kata BPC ketika para nasabahnya mulai menanyakan mengenai kegiatan pelayanan ekspor-impor. “Silahkan Bapak atau Ibu hubungi BPC di nomor telepon sekian-sekian” sebuah kalimat anjuran yang kelihatannya menyelesaikan masalah pada saat itu.<br /><br />Namun demikian, ketika kita menelaah lagi kalimat tersebut diatas maka mempunyai arti “menyelesaikan masalah dengan masalah”. Kalimat itu menimbulkan beberapa masalah. Masalah pertama adalah muncul kesan pertama di dalam benak nasabah bahwa cabang ini tidak mempunyai pelayanan ekspor-impor. Masalah kedua adalah kesalahan persepsi dengan mengumumkan kepada nasabah bahwa BPC adalah lembaga konsultasi dan outlet jasa ekspor-impor Bank Mandiri. Dan masalah ketiga yang tak kalah penting di sini adalah menunjukkan lemahnya product knowledge atas jasa ekspor-impor serta ketiadaannya pakar ekspor impor di cabang-cabang setelah kita merger.<br /><br />BPC dibentuk di bank kita berdasarkan trend bank-bank top dunia seperti HSBC, BONY atau Citibank yang melakukan sentralisasi atas transaksi ekspor-impor. Karena BPC didisain dari awal sebagai pabrik untuk mengolah dan memproses dokumen maka BPC memiliki konsep dasar dimana harus bekerja secara efisien (cost efficiency) serta menghasilkan satu produk akhir yang berkualitas tinggi. BPC-pun dipacu terus menerus untuk mencapai target dimana waktu atas pemrosesan dokumen dilakukan secara cepat sehingga bisa diperoleh satu tingkat hasil yaitu satu hari pemrosesan (one day service).<br /><br />Dari disain awal, menunjukkan secara jelas bahwa BPC bukanlah lembaga konsultasi akan tetapi BPC adalah murni pabrik. Supaya lebih jelas, kita analogikan dengan penjualan produk sepatu. Apabila seorang konsumen membutuhkan sepatu maka konsumen tersebut tidak perlu mendatangi langsung pabrik sepatunya untuk membeli. Namun konsumen cukup mendatangi outlet atau toko yang menyediakan produk sepatu tersebut. Jadi secara ideal, apabila calon nasabah menginginkan jasa ekspor-impor dari Bank mandiri maka nasabah tersebut cukup mendatangi cabang-cabang Bank Mandiri dan bukan datang ke BPC.<br /><br />Dan ketika kita mengamati kondisi BPC saat ini maka dapat disimpulkan bahwa BPC ini berada pada tahap Product Concept. Menurut Phillip Kotler (pakar pemasaran), tahap product concept adalah kondisi dimana sebuah perusahaan berhasil membuat produk yang berkualitas namun masih bingung memasarkannya. Tentunya ini menjadi tantangan bukan hanya BPC tapi bagi semua pihak di Bank Mandiri untuk mendorong BPC mencapai tahap mulai dijual (selling concept) atau bahkan langsung menuju pada tahap memasarkan (marketing concept).<br /><br />Agar BPC mencapai tahap selling concept maka dibutuhkan beberapa langkah taktis yang tidak sulit untuk dilakukan. Pertama, membentuk seorang officer yang bertindak sebagai Trade Services Sales Officer (TSSO) di dalam struktur organisasi cabang. Officer ini cukup ditempatkan di cabang-cabang yang memiliki potensi besar transaksi ekspor-impor. Officer ini adalah pakar atau konsultan ekspor-impor yang dan bertugas pula memasarkan jasa hasil “pabrikan BPC”.<br /><br />Langkah kedua, memasukkan fee based income dari transaksi ekspor-impor ke dalam Key performances Index (KPI) cabang. Dan yang terakhir, mulai menyediakan fee sharing yang jelas atas fee based tersebut misalnya 50%-50% antara cabang dan bisnis unit lain seperti Commercial Business Center (CBC) atau Corporate Banking. Langkah kedua dan ketiga ini merupakan upaya menstimulasi keikutsertaan cabang dalam pengembangan pasar dari BPC.<br /><br />Apabila kita mercermati harapan Dirut kita, Bapak ECW. Neloe yang menargetkan peningkatan fee based income dari transaksi ekspor-impor maka langkah menjual jasa hasil pabrikan BPC merupakan langkah tepat yang perlu segera diimplementasikan. Dan rasanya eksistensi BPC-pun rasanya makin dibutuhkan sebagai alat tempur guna di dalam peta persaingan perbankan nasional maupun regional.<br /><br /><br />Penulis:<br />Dede Parasade<br />TSAO – Hub Jakarta Plaza Mandiri</span>Dede Parasadehttp://www.blogger.com/profile/05043056964927886712noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-13446931.post-1118019338628799552004-10-21T22:00:00.000+07:002006-02-17T21:08:11.366+07:00Memimpin Dengan Hati<span style="font-family:times new roman;">Pada pemilu lalu kita sebagai bangsa Indonesia telah memilih seorang SBY sebagai pemimpinnya. Kerry atau Bush yang akan dipilih bangsa Amerika? Saat ini menjadi isu penting dunia. Kepemimpinan (leadership) akan selalu menjadi topik hangat baik di masyarakat ataupun di dalam sebuah organisasi. Kenapa selalu hangat untuk dibicarakan? Karena jelas pemimpin akan menentukan arah keberhasilan dari sebuah organisasi.<br /><br />Motivasi penulis untuk belajar akan leadership ini tidak lepas dari berbagai gaya leadership beberapa atasan penulis selama bekerja di Bank kita tercinta ini. Selalu terdapat perbedaan mencolok setiap terjadi pergantian pimpinan khususnya dalam gayanya mereka memimpin unit bisnis. Atas perbedaan itulah, penulis berupaya mencari sebuah model terbaik yang bisa diterapkan kita dalam berorganisasi khususnya di dalam Bank Mandiri guna mengantisipasi perkembangan pasar.<br /><br />Di perpustakaan Bank Mandiri penulis bersyukur menemukan literatur majalah Harvard Business Review edisi Januari 2004 yang didalamnya berisi berbagai kumpulan artikel terbaik tentang Leadership yang pernah dimuat majalah tersebut. Dan yang menjadi perhatian adalah artikel tahun 1998 yang berjudul “What Makes a Leader” yang ditulis oleh Daniel Goleman, seorang pakar perilaku organisasi New Jersey,USA.<br /><br />Artikel tersebut menyebutkan bahwa di dalam sebuah leadership memang dibutuhkan Kecerdasan otak (IQ) dan penguasaan keahlian bidang (technical skill). Namun saat ini yang menjadi qualifikasi utama dalam leadership adalah justru kecerdasan emosional (Emotional intelligent) atau lebih populer dengan istilah EQ. Kecerdasan emosional ini dijelaskan secara gamblang oleh unsur-unsur yang berhubungan erat dengan hati nurani. Unsur-unsur tersebut adalah mawas diri, menahan diri dan tenggang rasa. Mari kita ulas satu persatu.<br /><br />Unsur pertama adalah mawas diri (Self Awareness), yaitu kemampuan untuk mengenali dirinya sendiri. Hal ini juga berarti mengerti akan perasaan hati sendiri, kelebihan dan kelemahan pribadi, ambisi serta keinginan diri. Sebagai pemimpin, maka dia harus menahami bahwa suasana atau perasaan hatinya akan mempengaruhi bawahan dan prestasi kerjanya. Dan komponen mawas diri dapat dikenali dari ciri-cirinya yaitu percaya diri, jujur dan realistis.<br /><br />Unsur kedua adalah menahan diri (self regulation), yang menunjukkan kemampuan mengontrol dirinya untuk tidak melakukan tindakan yang gegabah, terburu-buru atau dadakan (impulsif). Dia akan selalu hati-hati mengedepankan pertimbangan sebelum bertindak. Unsur kedua ini sangat dibutuhkan pemimpin untuk menciptakan kepercayaan dan keadilan serta untuk selalu siap menghadapi perubahan dalam persaingan sengit usaha dan munculnya ambiguitas.<br /><br />Terakhir adalah tenggang rasa (Empathy). Unsur ini merupakan kemampuan seseorang untuk mengerti lebih dalam dari perasaan orang lain atau bawahan. Tenggang rasa berarti pula keahlian memperlakukan orang lain termasuk di dalamnya reaksi perasaan mereka. Saat ini tenggang rasa dibutuhkan pemimpin mengingat tiga aspek krusial yaitu kebutuhan mendasar akan sebuah tim kerja dimana seorang pemimpin harus sadar dan mengerti akan perhatian masing-masing bawahannya. Kedua, menghadapi era globalisasi dalam hal memperlakukan karyawan dan konsumen manca negara. Dan terakhir, kepentingan untuk menahan kepindahan karyawan potensial.<br /><br />Pertanyaan selanjutnya, dapatkah kecerdasan emosional ini dipelajari? Menurut Steven Gutstein, psikolog sekaligus ahli Autis dari Houston (USA) menyebutkan bahwa kecerdasan emosional ini digunakan sebagai alat terapi bagi penderita autis. Jadi, apabila penderita autis dapat mempelajarinya maka setiap orangpun mampu melakukannya.<br /><br />Dan kecerdasan emosional ini mempunyai keunikan tersendiri yaitu tidak dapat dipelajari hanya melalui seminar ataupun training satu-dua minggu saja. Hal ini karena kecerdasan emosional berada di neurotransmitter dari sistem Limbic otak kita. Latihan terbaik untuk Sistem Limbic diberikan melalui latihan yang kontinyu dalam waktu lama. Selain itu membutuhkan pula motivasi diri yang tinggi dan adanya umpan balik. Guna bahan umpan balik, dibutuhkan keberanian untuk membuka diri atas kritikan dari teman sejawat atau bahkan bawahan.<br /><br />Akhir kata, Memang tidak mudah untuk mencetak seorang pemimpin yang ideal dan dibutuhkan pula proses waktu yang panjang serta komitmen tinggi untuk kita bisa mempelajari sebuah kecerdasan emosional. Namun demikian, memimpin dengan hati dalam kecerdasan emosional tinggi mempunyai manfaat ganda apabila kita mampu menerapkannya yaitu bagi diri pribadi maupun bagi Bank Mandiri tempat kita bekerja selama ini.<br /><br />Penulis:<br />Dede Parasade<br />TSAO Hub Plaza Mandiri</span>Dede Parasadehttp://www.blogger.com/profile/05043056964927886712noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-13446931.post-1119488511193225342004-09-22T08:00:00.000+07:002005-10-14T18:18:19.390+07:00Mandiri Bizkul<span style="font-family:courier new;font-size:85%;">Bahagia sekali rasanya hati ini ternyata Bank Mandiri tempat penulis bekerja dewasa ini memberikan perhatian besar terhadap pendidikan dan pengembangan bagi para pegawainya. Impian penulis dalam dua tulisan terdahulu di Buletin Mandiri yaitu The Lost Generation dan Wajib Belajar ternyata terwujud dengan telah terimplementasikan dalam Surat Edaran Training Group No.009/PSL/CHC.TRN/2004. Bravo Training Group!<br /><br />Namun demikian, menurut hemat penulis Surat Edaran tersebut diatas masih membutuhkan penyempurnaan. Usulan penyempurnaan atas SE itu diangkat dalam judul tulisan yaitu Mandiri Bizkul atau singkatan dari Mandiri Business School. Mandiri Bizkul ini merupakan proses penyempurnaan di dalam pelaksanaan program pendidikan pasca sarjana (S2) khususnya program magister manajemen. Pada konsep usulan bizkul ini lebih menekankan pada tiga faktor yaitu peserta pendidikan, pilihan universitas sebagai tempat proses belajar dan program beasiswa 50% dengan tetap melandaskan pada prinsip efisiensi dan efektifitas anggaran biaya pendidikan Bank Mandiri.<br /><br />Faktor pertama yang seperti kita ketahui, peserta dari program pendidikan pasca sarjana mandiri saat ini adalah kelompok 30% officer penilaian terbaik. Kondisi tersebut cukup menyentuh rasa keadilan bagi pegawai yang tidak termasuk kelompok itu. Sehubungan hal tersebut, dapat diperkenalkan satu konsep bahwa pendidikan pasca sarjana adalah hak bagi seluruh pegawai Bank Mandiri. Sama halnya dengan hak untuk pelatihan dan pendidikan yang ada di Bank Mandiri. Sehingga kesempatan dapat diberikan bagi pegawai pengalaman 5 tahun kerja dan penilaian kinerja baik selama 2 tahun terakhir.<br /><br />Training Group tidak perlu pula repot-repot mengadakan seleksi masuk karena sudah ada standarisasi seleksi masuk program pasca sarjana di Indonesia. Ada dua parameter dalam proses seleksi yaitu Test Potensi Akademik (TPA) yang diadakan OTTO Bappenas dan test bahasa Inggris (TOEFL) yang diselenggarakan lembaga kursus bahasa Inggris. Training Group tinggal menentukan standar lolos seleksi misalnya peserta harus menyerahkan sertifikat kedua test diatas dengan total nilai lebih dari 1000.<br /><br />Faktor kedua adalah sekolah bisnisnya atau universitas penyelenggara program pasca sarjana. Saat ini masih bersifat Jakarta sentris seperti MMUI ataupun MMUGM Kelas jauh Jakarta. Kondisi ini memaksa Training Group harus menarik pegawai peserta program untuk tinggal di Jakarta dan hanya konsentrasi belajar.<br /><br />Aturan diatas tentunya dapat pula disempurnakan dengan cara memanfaatkan kelas eksekutif yang banyak ditawarkan Universitas Negeri di berbagai daerah. Arti kelas eksekutif adalah proses belajar dari program pasca sarjana dilakukan setelah jam kantor. Ada tiga keuntungan yang bisa diperoleh yaitu peserta program tidak perlu repot-repot ke Jakarta. Kedua, program pasca sarjana ini juga dinikmati oleh para officer yang bekerja di cabang-cabang di seluruh Indonesia. Dan ketiga bagi Bank Mandiri sendiri yaitu officer peserta program masih bisa tetap bekerja pada unit kerja masing-masing.<br /><br />Terakhir, Training Group perlu pula kiranya mempertimbangkan program beasiswa 50% menggantikan sistem reimbursement pada program swadana. Pada Program ini, Bank Mandiri lebih bersifat proaktif mengantisipasi peran aktif dari pegawai dalam segi pembiayaan kuliah. Program beasiswa separuh ini mempunyai keunggulan yaitu pertimbangan efisiensi biaya yang harus dikeluarkan Bank Mandiri dan sisi efektifitas bagi pegawai peserta program yang masih mempunyai semangat belajar yang tinggi.<br /><br />Demikianlah penjelasan singkat dari konsep Mandiri Bizkul dengan target utama mampu menghasilkan seluruh officer Bank Mandiri di seluruh Indonesia bergelar Magister Manajemen (MM). Dan diharapkan konsep Mandiri Bizkul ini menjadi pondasi kokoh guna mewujudkan cita-cita Manajemen sebagaimana Bank Mandiri sebagai Dominant Bank di Indonesia dan Regional Champions Bank di Asia Tenggara. Semoga.<br /><br />Penulis:<br />Dede Parasade<br />Alumnus MMUI<br />Hub Jakarta Plaza Mandiri</span>Dede Parasadehttp://www.blogger.com/profile/05043056964927886712noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-13446931.post-1118019702729640302004-07-23T08:00:00.000+07:002005-06-06T08:01:42.730+07:00To be Creative PeopleTO BE CREATIVE PEOPLE <br /><br />Membaca sebuah buku yang ditulis oleh John Putzier dengan judul Get Weird, membuat penulis tak kuasa menahan untuk membahas temanya dan menulisnya dalam artikel ini. Buku ini cukup menarik yang mengangkat tema tentang bagaimana seseorang itu harus kreatif dalam bekerja dan begitu pula lingkungan kerjanya. Diharapkan dengan membangun daya kreatifitas maka akan memberikan kontribusi yang besar bagi dirinya dan juga perusahaan. <br /><br />Ternyata cukup besar hambatan kita untuk menjadi orang yang kreatif, hal ini karena hambatan itu justru ada di sekeliling kita. Disebutkan bahwa ada tiga hal yang yang bisa menghambat daya kreatifitas kita selama ini. Tiga hal tersebut adalah kebiasaan hidup, Judgmentalis dan terakhir yaitu resistance to change. Untuk pemahaman lebih lanjut , kita akan mengulasnya satu per satu ketiga faktor tersebut dibawah ini. <br /><br />Pertama, kebiasaan hidup kita sehari-hari atau rutinitas ternyata akan sangat menghambat berkembangnya daya kreatifitas kita. Bangun tidur ku terus mandi, tak lupa pula sarapan dan lalu berangkat ke kantor. Pergi ke kantor melalui jalur yang sama setiap harinya dengan menyetel radio pada frekuensi yang sama. Ketika di kantor kita bertemu teman-teman kantor yang itu-itu juga dan melakukan pekerjaan yang sama. Kebiasaan-kebiasaan ini ternyata membuat kita malas berfikir dan akhirnya menyebabkan kita tidak memiliki tantangan berarti sehingga kondisi ini tanpa disadari dapat membunuh daya kreatifitas kita. <br /><br />Kedua, yang di sebut Judgmentalis. Tanpa disadari kita sering melakukan pertimbangan atau pengambilan keputusan hidup yang cenderung menempatkan kita pada posisi aman/nyaman dan sama sekali tidak ingin menyentuh sedikitpun sebuah resiko. Dengan kata lain, kita telah memiliki jawaban secara permanen dan sama atas semua pertimbangan, pengambilan keputusan dan seluruh masalah yang kita hadapi selama kita hidup, inilah yang disebut Judgmentalis. Kita menjadi malas untuk memikirkan masalah yang dihadapi sehingga kita tidak terbiasa mempertimbangkan atau bahkan mengelola resiko yang akan dihadapi. <br /><br />Terakhir, yang menghambat daya kreatifitas manusia adalah resistance to change atau sikap takut terhadap perubahan. Sikap anti perubahan dapat terlihat pada sikap penolakan terhadap hal atau ide yang baru yang kadang muncul di sekeliling kita. Sebagian dari Kita justru sangat menikmati kondisi status quo yang memiliki sifat aman dan nyaman. Sikap yang tidak menginginkan perubahan tentunya akan menggiring kita pada posisi tidak adanya lagi tantangan hidup sehingga menempatkan tingkat kreatifitas kita berada pada posisi paling rendah. <br /><br />Ada beberapa langkah kecil perubahan yang dapat kita lakukan untuk menghindari jebakan yang menghambat kreatifitas ini. Langkah-langkah itu sebagai berikut; ubahlah yang biasa disebut rutinitas sehari-hari, mencari jalan alternatif lain menuju kantor dan berani untuk tersesat di jalan. Kemudian cobalah telusuri dan menghubungi teman semasa kecil kita dahulu. Langkah lain adalah Ganti penampilan sehari-hari sehingga kelihatan berbeda, bacalah tulisan atau artikel yang justru anda tidak suka dan mulailah hobi baru yang berbeda dari biasanya. <br /><br />Langkah kreatif lain yang bisa dicoba adalah menyediakan alat tulis di tempat tidur untuk menulis apa yang terpikirkan oleh kita ketika akan tidur. Kemudian mencobalah untuk berimajinasi kita bertukar posisi menjadi seorang nasabah atau seorang bawahan kita. Sehingga kita mampu memandang suatu masalah dari sudut pandang yang lain. Cara lain yang bisa dicoba adalah berani untuk menuliskan kesalahan kerja yang pernah kita lakukan dan menempelkannya di dinding, berani mengakui kesalahan adalah tindakan terpuji. Dan sebenarnya banyak cara lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan daya kreatifitas kita secara sederhana. <br /><br />Dengan mengenali faktor-faktor yang menghambat daya kreatifitas kita berarti kita telah melakukan tindakan identifikasi masalah. Setelah itu tentunya kita tinggal menentukan bagaimana cara meningkatkan daya kreatifitas secara sederhana. Hal ini semua kita butuhkan apabila kita ingin selalu kreatif. Hal ini disebabkan karena adanya korelasi yang cukup tinggi antara daya kreatifitas kita sebagai pegawai dengan rutinitas yang kita lakukan di tempat kerja. <br /><br />Akhir kata, menjadi orang yang kreatif ini sebenarnya anugerah bagi kita, keluarga dan masyarakat sekitar meskipun kelihatannya kreatifitas yang muncul itu kecil. Dan dengan membangun daya kreatifitas kita masing-masing diharapkan akan memberikan kontribusi yang besar bagi Bank Mandiri. Semoga. <br /><br />Penulis:<br />Dede Parasade<br />Profesional Staff <br />Hub Jakarta Plaza MandiriDede Parasadehttp://www.blogger.com/profile/05043056964927886712noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-13446931.post-1123119350094914552004-06-25T09:22:00.000+07:002005-08-04T08:35:50.103+07:00Merebut Hati PembantuBukan penulis ingin bercerita tentang kisah nyata seorang majikan yang kurang ajar mencoba merayu pembantu rumah tangganya. Namun tulisan ini berupaya membahas sisi bisnis yang dapat dikembangkan Bank Mandiri dari subsektor Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang mencari nafkah di negeri orang yang memang sebagian besar rata-rata berprofesi sebagai pembantu rumah tangga. <br /><br />Pertanyaan yang muncul adalah, kenapa segmen pembantu ini selayaknya ditumbuhkembangkan? Ada dua faktor yang melatarbelakanginya. Faktor pertama adalah adanya fenomena masyarakat Indonesia untuk bekerja di luar negeri dan mempunyai kecenderungan trend terus meningkat setiap tahunnya. Disebutkan oleh satu surat kabar ibukota bahwa angkatan tenaga kerja Indonesia sudah hampir mencapai dua juta jiwa. Faktor kedua, karena para TKI ini tetap membutuhkan jasa layanan perbankan untuk pengiriman uang sebagai hasil jerih payah mereka untuk dinikmati keluarganya di kampung halaman di Indonesia. <br /><br />Penulispun mencoba mengangkat potensi bisnis dari TKI ini di dalam salah satu topik thesis pasca sarjananya. Ruang lingkupnya adalah Bank Mandiri Hongkong (BMHK) dimana Hongkong mempunyai populasi TKI yang cukup besar yaitu hampir mencapai 80 ribu orang. Dengan kebanyakan profesinya sebagai pembantu rumah tangga dengan rata-rata pendapatan yang diperoleh para TKI sebesar 3.500 HK Dollar per bulan. Diproyeksikan BMHK mampu menangguk satu juta US Dollar per tahun apabila mampu menguasai pangsa pasar sebesar 30%, hal ini dapat dilihat pada tabel 1.<br /><br />Tabel 1. Potensi dari TKI <br />Pangsa Jumlah Tabungan Biaya Selisih Kurs Total Pendapatan Transfer Pendapatan <br /><br />20% 15,400 31 0.3 0.1 5.4 <br />30% 23,100 46 0.5 0.2 8.1 <br />50% 38,500 77 0.8 0.4 13.5 <br />100% 77,000 154 1.5 0.7 27.0 <br />Sumber: Data Olahan <br />USD 1 = HKD 7.80 <br />HKD 1 = IDR 1,090 <br /><br />Di Hongkong, pesaing kita yang bermain pada segmen ini dikategorikan dalam dua jenis persaingan. Pesaing pertama adalah bank-bank Indonesia di Hongkong seperti Bank BNI, BII dan Bank Niaga. Bank BNI ternyata cukup mendominasi segmen ini karena memang mereka adalah pioneer pada segmen TKI ini. Beberapa survey yang dilakukan penulis pun menunjukkan para TKI mempunyai rekening tabungan di Bank BNI Hongkong.<br /><br />Pesaing kedua adalah restoran atau warung nasi Indonesia yang berada di Hongkong. Warung nasi tersebut merupakan tempat mangkal mereka di kala hari libur mereka yaitu Sabtu-Minggu. Para TKI ini justru lebih condong menggunakan jasa warung nasi dalam jasa penitipan pengiriman uang karena praktis dan sangat cepat. Prakteknya adalah setelah TKI memberikan uangnya pada warung tersebut kemudian rekanan warung di Indonesia diinstruksikan langsung mentransfer uang pada rekening yang dituju. <br /><br />Dari paparan pesaing di atas, kiranya cukup menantang bagi Bank Mandiri untuk turut serta menggarap segmen TKI ini. Dan sebelum terjun langsung dibutuhkan langkah persiapan yaitu menyelami isi hati mereka dengan melakukan riset terhadap perilaku para TKI. Kita dapat membaginya dalam tahap persiapan pemberangkatan dan tahap pelaksanaan proses kerja.<br /><br />Di dalam tahap persiapan pemberangkatan seorang TKI ternyata membutuhkan biaya yang tak sedikit, hampir mencapai Rp 10 - 20 juta. Biaya ini dibutuhkan untuk biaya tiket pesawat, biaya pembuatan paspor dan visa serta biaya karantina dan pelatihan. Biaya-biaya ini diperlukan sebelum keberangkatan sehingga sudah pasti seorang TKI tidak mempunyai dana yang besar sebelum bekerja. Selama ini peluang ini sangat dimanfaatkan perusahaan Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Praktek ini hampir mirip dengan praktek ijon atau rentenir di jaman pertanian dahulu kala.<br /><br />Pada tahap berikutnya adalah tahap pelaksanaan proses kerja TKI itu sendiri di negara tujuan. Pada tahap ini, biasanya para pekerja dikontrak selama dua tahun kerja. Dan selama tahun pertama para TKI ini hanya menerima gaji kecil mengingat adanya potongan yang begitu besar untuk melunasi biaya pemberangkatan di tanah air. Baru tahun kedua para TKI ini menerima gaji penuh dari hasil jerih payahnya. Pada tahun kedua inilah muncul kebutuhan untuk menabung dan biasanya tabungan ini dilakukan di dalam negeri. <br /><br />Berdasarkan analisa tersebut di atas, dapat dirumuskan beberapa langkah jitu yang dapat diambil oleh Bank Mandiri. Consumer Banking Group dapat menciptakan produk berupa pinjaman TKI guna menutupi biaya pemberangkatan. Produk ini dapat mengarahkan pada satu rasa terima kasih yang mendalam (hutang budi) dan hal ini bisa menjadi landasan loyalty customer. Dan untuk tahap pelaksanaan proses kerja TKI, Bank Mandiri dapat menawarkan satu produk/jasa pengiriman uang, transaksi jual beli valas ataupun draft collection. <br /><br />Dari pemaparan di atas cukup jelas bahwa TKI ini membutuhkan jasa layanan dengan karakteristik umum yaitu cepat, murah dan mudah dijangkau. Dan dalam hal Bank Mandiri memiliki Kantor Luar negeri seperti BMHK di Hongkong maka perlu kiranya mempertimbangkan membuka outlet–outlet atau gerai khusus pelayanan TKI ini di hari Sabtu-Minggu Dan dipadu dengan program-program agresif selling. <br /><br />Akhir kata, jika kita analogikan dengan Bank-bank Jepang yang berekspansi mengikuti nasabah yang berekspansi di seluruh dunia. Maka Bank Mandiri dapat berekspansi mengikuti kemana perginya para TKI bekerja di seluruh dunia. Sebagai konsekuensi logis bisnis yang semakin tersegmentasi dan landasan ekspansi bisnis luar negeri maka kita dapat mencanangkan Bank Mandiri sebagai Banknya Tenaga Kerja Indonesia.<br /><br /><br />Penulis:<br />Dede Parasade<br />Profesional Staff <br />Hub Jakarta Plaza MandiriDede Parasadehttp://www.blogger.com/profile/05043056964927886712noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-13446931.post-1118884764693901372004-02-25T07:00:00.000+07:002005-06-16T08:19:24.696+07:00MTV, Gue Banget!MTV Gue Banget!!! Sebuah kalimat yang sering kali ditayangkan di stasiun televisi MTV Indonesia. Kalimat yang diucapkan oleh para penyanyi pop yang sedang beken seperti seperti Kris Dayanti, Reza, Titi Dj, Glen Fredly, Marcel, Rio Febrian ataupun grup bandnya seperti Padi, Cokelat, Gigi, Sheila on Seven, Dewa dan segenap penyanyi populer yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Hal yang sama dilakukan oleh para penyanyi atau grup band kelas dunia seperti Westlife, Red Hot Chili Peppers, Blue, atau Britney Spears yang hanya saja mengalami kesulitan mengucapkannya sehingga menjadi kalimat “MTV Gue Bangget!” Hal ini menambah keunikan tersendiri bagi slogan MTV. <br /><br />Sebenarnya kata banget adalah kata yang biasa digunakan anak muda yang artinya sangat ataupun amat. Dan gara-gara slogan yang kerap kali diluncurkan MTV, kemudian kata ‘banget’ menjadi kata yang paling populer di kalangan anak muda saat ini di seluruh Indonesia saat ini. Pemilihan kata yang unik dengan kata-kata yang sangat mudah diucapkan dan mudah pula untuk diingat, menjadikannya slogan ini cepat sekali populer. MTV telah berhasil menciptakan sebuah slogan yang diterima secara mudah oleh target marketnya. <br /><br />Dengan slogan ini MTV berusaha untuk mempersonifikasikan dirinya dengan target market yaitu generasi muda dengan jangkauan usia 15-30 tahun. Dengan slogan ini pula kelihatannya MTV mempunyai tujuan sebagai berikut; pertama, MTV ingin menunjukkan sebagai stasiun televisi yang mengkhususkan seluruh acaranya untuk musik. Kedua, MTV berupaya untuk menjadi cerminan jiwa muda dan mewakili generasi muda dengan menggunakan raw model-nya pada slogan ini yaitu para musikus muda masa kini. Ketiga, MTV berharap menjadi saluran TV pilihan utama dari target marketnya. <br /><br />Slogan “MTV Gue banget” dalam istilah marketing biasa disebut tag line. Tag line MTV ini sama dengan tag line dari produk-produk kelas dunia seperti “just do it” untuk Nike, “connecting people” untuk Nokia dan Coca Cola dengan “dimana saja kapan saja”. Beberapa perusahaan nasional berusaha pula untuk membuat slogan seperti RCTI OK, Telkom dengan “Commited 2 U”, Indosiar “memang untuk anda”, atau Stasiun radio Prambors dengan “tempat mangkal kawula muda”. <br /><br />Tag line adalah salah satu strategi dalam rangka implementasi konsep Segmentation, Targeting and Positioning (STP). Tag line yang berhasil adalah yang mampu membantu konsumen mengingat sebuah produk atau jasa dengan cepat. Dengan kata lain bahwa tag line ini digunakan untuk memudahkan untuk melakukan positioning. Positioning adalah satu proses yang dilakukan oleh produsen guna menancapkan sebuah produk atau jasanya di dalam benak konsumen. Dan ketika kita bicara tentang apa yang ada di benak atau pikiran konsumen maka hal ini berhubungan erat dengan dengan top of mind. <br /><br />MTV Gue Banget! adalah contoh sukses dari Tag line yang diluncurkan oleh MTV. Dan hal ini dapat menjadi contoh yang baik bagi Bank Mandiri di dalam melancarkan program iklannya di televisi khususnya untuk mencapai target sebagai top of mind. Bank Mandiri sebenarnya telah memiliki tag line yaitu “bank yang kokoh dan terpercaya pilihan anda”. Namun ketika dilapalkan maka kalimat tersebut terlalu panjang sehingga mudah dilupakan dan kalimat tersebut juga bersifat terlalu umum, hampir semua bank menggunakan kalimat yang hampir mirip tag line tersebut. Sehubungan hal tersebut, selayaknya kita merumuskan kembali tag line yang bersifat marketable. <br /><br />Dan seperti kita ketahui bahwa Bank Mandiri adalah universal bank, maka kita dapat simpulkan bahwa Bank Mandiri melayani semua segmen baik itu di ritel, komersial maupun korporasi. Tentunya semua segmen ini perlu diperhitungkan di dalam perumusan tag line yang baru. Harus diakui, terlalu luas segmen yang dilayani memang agak sulit untuk menentukan sebuah tag line yang bisa di terima secara umum. Sehingga di dalam perumusannya dibutuhkan satu riset yang mendalam dan waktu yang lama.<br /><br />Namun demikian, berangkat dari sebuah asumsi bahwa konsumen secara umum membutuhkan layanan perbankan yang terpercaya, profesional dan aman, maka bisa diambil dari kata-kata tag line lama yaitu “bank yang kokoh”. Kata “kokoh” cukup mencerminkan keinginan konsumen atas kebutuhan perbankannya dan kata kokoh cukup pula menggambarkan kondisi internal Bank Mandiri saat ini. Hanya saja kata kokoh agak sulit dilapalkan. Sinonim dari kata kokoh ini adalah solid dan kata solid mudah pula untuk diucapkan. Oleh karena itu dapat kiranya dipertimbangkan sebuah tag line baru dengan kalimat, “Bank Mandiri, Solid!!!” <br /><br />Untuk mencapai target sebagai top of mind, salah satu taktiknya adalah dibantu dengan tag line. Sebuah tag line yang diterima secara mudah oleh target marketnya. Dan bahkan tag line tersebut bisa menjadi sebuah kata yang populer di masyarakat seperti yang telah dilakukan MTV dengan “gue banget”-nya. Keberhasilam Tag line sangat ditentukan oleh publikasi yang kuat, dalam hal ini dibutuhkan satu program iklan baik di media elektronik maupun media cetak. Diharapkan satu hari ketika seorang ibu ditanya apa yang “Solid” maka dia akan spontan menjerit “Bank Mandiri!!!” <br /><br />Penulis:<br />Dede Parasade<br />CSO Jakarta Plaza MandiriDede Parasadehttp://www.blogger.com/profile/05043056964927886712noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-13446931.post-1129285054502976452003-11-03T18:11:00.000+07:002005-10-14T18:02:12.093+07:00Belajar Dari Kasus L/C Bank BNI<span style="font-family:times new roman;font-size:85%;">Kita semua terkaget-kaget mendengar satu lagi kasus pembobolan bank yang mempunyai nilai yang maha besar. Sebuah kasus dengan nilai Rp 1,7 trilyun terjadi di Bank BNI yang melibatkan “orang dalam”. Atas kesimpangsiuran mengenai berita ini, tulisan ini mencoba mengangkat masalah tersebut sesederhana mungkin.<br /><br />Kasus ini sebenarnya merupakan modus operandi gaya lama yaitu kasus ekspor fiktif. Dengan ekspor fiktif ini maka akan menimbulkan satu masalah yang disebut unpaid atau tidak dibayarnya tagihan ekspornya. Hanya saja Bank BNI masih menggunakan sistem yang lama dalam pemrosesan dokumen sehingga kasus ini berulang kembali. Dalam kasus ini peranan pejabat bank sangatlah penting karena tanpa bantuannya maka kasus ini tidak akan terjadi.<br /><br />Dalam kasus ekspor fiktif ini berkaitan erat dengan fasilitas diskonto. Adalah fasilitas yang diberikan oleh pihak bank untuk menalangi terlebih dahulu atas transaksi ekspor yang dilakukan nasabahnya dengan perhitungan bunganya menggunakan discount rate. Untuk pelunasan fasilitas diskonto ini pihak bank akan menerima pembayaran dari pihak bank pembuka L/C ekspor di luar negeri pada saat jatuh tempo.<br /><br />Seperti kita ketahui, fasilitas diskonto ini tidak langsung diberikan begitu saja oleh pihak bank kepada nasabahnya. Syarat utama diberikannya fasilitas ini kepada nasabah adalah setelah pihak bank menerima surat akseptasi dari pihak bank pembuka L/C. Dan terdapat dua aspek lain yang perlu dipertimbangkan seperti adanya jaminan aset nasabah dan L/C ekspor yang diterima haruslah dari bank koresponden.<br /><br />Dan pada kasus Bank BNI kelihatannya keseluruhan aspek tersebut di atas ternyata tidak terpenuhi. Keterlibatan pejabat Bank BNI sangat jelas terlihat dari melakukan kesalahan yang sangat fatal yaitu mendiskonto wesel ekspor berjangka tanpa memperoleh surat akseptasi atau surat sanggup bayar dari bank pembuka L/C di luar negeri. Dan disinilah Kunci utama kejahatan pembobolan bank dilakukan.<br /><br />Mengingat lemahnya pengawasan internal baik di cabang maupun kantor pusat maka kesalahan mendiskonto dokumen ekspor fiktif itu terus berulang kali dilakukan dan dalam jangka waktu yang cukup lama hingga akhirnya menimbulkan pos terbuka hingga mencapai Rp 1,7 trilyun atau equivalen dengan USD 200 juta.<br /><br />Pihak eksportir jelas tidak bisa mempertanggungjawabkan dengan assetnya atas tidak terbayarnya tagihan ekspor kepada pihak Bank BNI. Semestinya ada jaminan dari pihak eksportir apabila tagihan ekspor tersebut tidak terbayar maka pihaknya akan mengembalikan uang talangan kepada pihak Bank BNI.<br /><br />Sisi lain yang tak kalah penting adalah sisi bank koresponden di luar negeri sebagai pihak bank pembuka L/C tersebut. Dengan memberikan fasilitas diskonto atas L/C ekspor yang diperoleh dari bank yang bukan bank koresponden merupakan kesalahan fatal dan kelihatannya disengaja dalam kasus ini. Hal ini karena tidak ada jaminan apapun dari pihak bank pembuka L/C apabila terjadi unpaid. Dan bukan tidak mungkin pihak importir yang membuka L/C Impor di luar negeri merupakan bagian dari komplotan yang membobol Bank BNI.<br /><br />Dari kasus ini kita dapat melihat bahwa penanganan ekspor dari Bank BNI masih menggunakan sistem lama dan tradisional. Pada sistem ini, bagian pemrosesan transaksi dokumen ekspor dan “pihak yang memutus” masih berada pada satu unit kerja yaitu Bank BNI Cabang Kebayoran Baru. Sebenarnya sistem lama ini sudah lama ditinggalkan oleh dunia perbankan internasional.<br /><br />Beruntunglah kita Bank Mandiri telah menggunakan sistem baru yang biasa kita sebut bill processing center (BPC) seperti juga telah dilakukan beberapa bank kelas dunia seperti HSBC, Standard Chartererd Bank, dan ABN AMRO. Sistem ini merupakan sistem sentralisasi untuk menangani transaksi ekpor dan pembukaan L/C Impor. Unit kerja ini bekerja terpisah dari unit kerja yang “memutus”. Sehingga proses dual control dapat berfungsi dengan baik. Otomatis kejadian unpaid dapat dideteksi secara dini dan kecil kemungkinan kejadian tersebut dapat berlangsung berulang kali.<br /><br />Sistem ini bagian dari sistem manajemen resiko yang merupakan barang baru bagi perbankan nasional. Resiko dibagi menjadi beberapa bagian. Documentary risk berada pada bill processing, customer risk ada di tangan cabang atau bisnis unit dan bank risk merupakan bagian dari Internasional Banking Group. Diharapkan dengan pemisahan resiko ini maka sistem kontrol akan berjalan secara sistematis.<br /><br />Mau tidak mau, suka atau tidak suka kelihatannya kita yang sedang berdandan wajib bercermin kembali dari kasus Bank BNI ini. Disinilah baru kita sadari bahwa pengawasan internal harus dilakukan secara kontinyu dan sistematis. Dan pelajaran paling mahal harganya adalah dari pengalaman.<br /><br />Penulis:<br />Dede Parasade<br />Hub Jakarta Plaza Mandiri</span><br /><span style="font-family:Times New Roman;font-size:85%;"></span><br /><span style="font-family:Times New Roman;font-size:85%;">Tulisan ini telah dimuat di harian Kompas, tanggal 5 Nopember 2003</span>Dede Parasadehttp://www.blogger.com/profile/05043056964927886712noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-13446931.post-1118883702264235122003-07-07T00:00:00.000+07:002005-06-16T08:01:42.273+07:00Beriklan Ala Pring SewuKetika saya mengambil cuti di awal Juni lalu, saya mencoba mengusir kepenatan pekerjaan sehari-hari dengan melakukan travelling. Perjalanan berdua dengan kekasih hati dengan berkendaraan sendiri menyusuri jalur Pantura dari Jakarta menuju kota Semarang. Cukup menyenangkan karena jalurnya tidak terlalu ramai dalam suasana yang sangat berbeda. <br /><br />Di tengah-tengah perjalanan kemudian saya menangkap sesuatu yang menarik dan unik. Ketika kami baru memasuki daerah Brebes dan disaat kami sudah mulai lapar. Di saat itu pula kami mulai memilih restoran di sepanjang jalur tersebut dan kami bingung karena banyak sekali restoran yang menawarkan berbagai masakan. Kemudian selintas saya membaca sebuah papan kecil ditempel di tiang telepon yang bertuliskan “Sedia Sop Buntut, ruangan AC. RM Pring Sewu. 40 km lagi”. Kecepatan saya kurangi untuk tetap bisa memilih restoran mana yang kelihatannya nyaman untuk beristirahat. Namun kemudian saya membaca kembali plang “Juice Mangga. RM Pring Sewu. 38 KM”. Rasa penasaran belum habis muncul lagi billboard kecil bertuliskan “Ayam Panggang, RM Pring Sewu. 35 KM lagi”. <br /><br />Sayur Asem, Juice alpukat, ayam goreng, sambel terasi dan banyak lagi tulisan makanan seolah kita membaca daftar menu sepanjang jalan menuju rumah makan tersebut. Papan-papan itu muncul terus pada setiap kilometernya menuntun hingga pada tujuan yaitu rumah makan Pring Sewu yang berlokasikan 10 KM setelah kota Tegal. Seakan tersihir dengan kondisi perut keroncongan, akhirnya kami putuskan untuk memilih rumah makan tersebut sebagai tempat makan siang kami. Dan baru saya sadari bahwa cukup jauh ketika kami memutuskan untuk makan sedari daerah Brebes dan perlu diketahui ternyata sepanjang Brebes dan Tegal terdapat puluhan restoran besar. <br /><br />Sebuah pelajaran berharga saya peroleh mengenai satu contoh melakukan dari taktik iklan yang sangat jitu. Sebuah taktik yang dilakukan secara efektif dan efisien, yaitu dengan biaya iklan murah meriah namun bisa diperoleh hasil penjualan yang optimum. Hal ini bisa dilihat bahwa restoran ini tidak pernah sepi dari pengunjung. <br /><br />Satu terapan ilmu pemasaran yang sangat lihai yaitu positioning dengan sekejap. Bagaimanana menanamkan produk atau jasa kita di benak para calon konsumennya dalam jangka waktu yang cepat. Ada tiga langkah strategis Pring Sewu lakukan: <br /><br />Langkah pertama, mencoba memahami kebutuhan akan tempat yang nyaman dan sejuk di tengah panasnya daerah Pantura maka disediakan fasilitas ruangan berpendingin udara. <br />Yang kedua dilakukan adalah bagaimana menawarkan kesegaran sebuah makanan, yang dibutuhkan calon konsumen yang rata-rata sudah mulai lelah/capek dalam tengah-tengah perjalanan. <br />Langkah ketiga yang merupakan taktik differensiasi Pring Sewu adalah menawarkan hanya satu jenis menu makanan tertulis di satu papan kecil. Kemudian menawarkan satu per satu menu makanannya dalam setiap papan kecil yang ditempelkannya di tiang telepon sepanjang jalan dan sekaligus penunjuk jalan ke arah restoran tersebut. Daftar menu yang berderet ke bawah yang dipajang pesaingnya tentunya sangat tidak efektif karena sulit terbaca jelas jika calon konsumennya yang membacanya dalam kondisi berkendaraan dan berjalan cepat. Dan sama sekali tidak menggugah orang untuk membelinya karena semua restoran melakukan hal yang sama. <br /> <br />Bagaimana dengan Bank Mandiri? Di sepanjang jalan di jalur pantura biasanya di pintu gerbang masuk kota kabupaten, kita melihat pula billboard raksasa berwarna biru yang hanya bertuliskan “Bank Mandiri” namun kemudian muncul sebuah pertanyaan “So What?”. Pesan apa yang ingin disampaikan? Informasi apa pula yang harus ditangkap oleh calon nasabah Bank Mandiri? Nah, marilah kita belajar cara beriklan ala Pring Sewu. <br /><br />Pelajaran pertama, sebelum beriklan maka pahami betul apa yang menjadi kebutuhan dari calon konsumen kita. Kemudian tentukan pula tujuan dari iklan tersebut dan target konsumen mana yang akan dibidik. Sehingga dalam billboard itu tidak hanya bertuliskan Bank Mandiri saja, tuliskan juga pesan apa yang ingin disampaikan. <br /><br />Kedua adalah lancarkan program iklan dengan biaya murah. Dengan Billboard raksasa Bank Mandiri di sepanjang jalan sepertinya berbiaya puluhan juta rupiah tapi coba kita bandingkan dengan papan kecil Pring Sewu yang berukuran 50cm X 30cm yang pasti hanya berbiaya puluhan ribu saja. <br /><br />Terakhir, lakukanlah program iklan dengan cara unik. Berbeda dengan yang lain sehingga kita akan selalu diingat. Untuk kasus jalur Pantura, sebaiknya Bank Mandiri menempatkan khusus beberapa ATM Mandiri di sepanjang jalur ini yang membentang dari Cikampek hingga Surabaya. Jangan percayakan pada ATMLINK karena inilah yang membuat kita berbeda dengan yang lain. Saya suka bermimpi ada papan kecil bertuliskan “ATM Mandiri. 10KM lagi.” – “5KM lagi” dan selanjutnya. <br /><br />Semoga dari ketiga pelajaran ini kita dapat mengambil sebuah hikmah bagaimana Bank Mandiri melakukan taktik iklan jitu ala Pring Sewu. <br /><br />Setelah kami kenyang menyantap ayam panggang, sambel terasi dan sayur asem di restoran yang berpendingin udara ini, kami melanjutkan kembali perjalanan. Baru 5 KM dari restoran Pring Sewu tadi, mata saya terbelalak lagi melihat tulisan pada papan kecil tulisan “Gurame Bakar. 30KM. RM Pring Jajar”. Hahaha.... <br /><br />Penulis:<br />Dede Parasade<br />TSAO Hub JPMDede Parasadehttp://www.blogger.com/profile/05043056964927886712noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-13446931.post-1118885739278189332003-04-17T03:00:00.000+07:002005-06-16T08:35:39.283+07:00Wajib BelajarAkhirnya kita patut bersyukur dengan dilancarkannya aksi penghindaran Lost Generation dilakukan juga oleh Bank tercinta ini. Dengan satu surat edaran Wajib Belajar diselenggarakanlah proses seleksi atas seluruh officer potensial untuk mengikuti satu program beasiswa program pasca sarjana baik di dalam negeri maupun luar negeri. Hal ini bisa kita sebut satu langkah kecil saat ini dan pasti akan menjadi langkah besar di kemudian hari. <br /><br />Dan patut kita maklumi pula bahwa didalam satu proyek yang baru pertama kali dilakukan memiliki beberapa kekurangan baik itu dilihat dari mendadaknya proses seleksi itu sendiri maupun dari persyaratan calon peserta seleksi. Hal ini disadari pula keinginan dari Divisi Training untuk menyelesaikan pekerjaan rumahnya yang sudah tertunda lama sekali. Seperti kita dahulu sebagai mahasiswa yang selalu menggunakan prinsip SKS alias “Sistem Kebut Semalam”. <br /><br />Dalam tulisan ini, saya hanya ingin memberikan sebuah konsep kecil yang mudah-mudahan bisa menjadi masukan bagi Bank Mandiri. Konsep yang berkaitan erat dengan proyek wajib belajar Bank Mandiri ini apabila dilihat dari 2 aspek penting yaitu calon peserta seleksi dan tempat proses belajarnya itu sendiri. <br /><br />Akhir bulan Maret 2003, seakan ada sedikit gairah di dalam Bank mandiri khususnya dari para officer peserta seleksi “wajib belajar”, namun justru hal yang paling menarik adalah gemuruh ketidakpuasan dari officer yang menjadi korban “sorting” yang mana memiliki handicap di bawah 100 yang otomatis tidak bisa mengikuti proses seleksi awal. Mereka menjadi sedikit geram sesaat pada atasannya dan seakan mereka akhirnya mempertanyakan kembali atas standar penilaian yang obyektif di Bank Mandiri. <br /><br />Dan sudah bisa dipastikan pula jumlah peserta officer dari cabang secara proporsional lebih sedikit dibandingkan dengan peserta dari Kantor pusat mengingat sudah menjadi paradigma bahwa adanya penilaian tahunan di cabang yang cukup “pelit”. Dan kemungkinan lolosnya seorang officer yang berasal dari cabang dalam proses seleksi itu cukuplah kecil mengingat harus bertarung dengan gajoan-gajoan Kantor pusat. Betapa kecemburuan Cabang terhadap Kantor Pusat kembali muncul lagi setelah sebelumnya disulut oleh ‘Job Grading’. <br /><br />Kemudian cukup mengagetkan pula ketika kita melihat daftar perguruan tinggi di luar negeri yang menjadi tujuan dari proyek “wajib belajar” Bank Mandiri ini. Satu langkah yang tidak populer dan justru sudah ditinggalkan oleh Bank-bank pesaing kita pada masa krisis saat ini. Langkah yang bisa disebut sangat boros dengan kita mengirimkan satu peserta program bea siswa keluar negeri dengan anggaran per orang bisa mencapai USD 50 ribu. Jika kita rupiahkan anggaran sebesar itu (USD 1 = Rp 9000) maka diperoleh nilai Rp. 450 juta atau Bank Mandiri bisa menyekolahkan officernya ke MM UGM sebanyak 9 orang dengan rata-rata anggaran per orang Rp. 50 juta. Seperti kata orang bijak, “Ilmu itu akan jauh bermanfaat jika diketahui oleh orang banyak”. <br /><br />Dan janganlah kita menutup sebelah mata kita terhadap perguruan tinggi atau lembaga pendidikan yang menyelenggarakan program pasca sarjana yang ada di Indonesia. Kiranya kita tidak perlu menyangsikan lagi dari segi kualitasnya dan masyarakat luaspun mulai tahu dan mampu menyebutkan Top 5 Business School (Bizkul) seperti IPMI, MMUI, Prasetya Mulya, IPPM dan MMUGM. Hal ini bisa menjadi acuan Bank Mandiri mulai melirik produk lokal yang tak kalah kualitasnya dari sugesti barang impor. Dengan produk lokal maka justru akan lebih banyak officer yang bisa menikmati manfaat fasilitas Atas Biaya Dinas (ABIDIN) ini. <br /><br />Akhir kata, seperti di era Orde Baru dimana hampir semua anak usia sekolah harus mengikuti Wajib Belajar, maka alangkah indahnya jika sebagian besar officer mengikuti Wajib Belajar Pasca Sarjana dengan ‘sekolahan’ cukup di dalam negeri saja dan mempunyai porsi seimbang antara Cabang dan Kantor Pusat. Semakin banyak sumber daya insani yang berkualitas semakin tinggi Bank Mandiri memiliki competitive Advantage. Marilah kita sukseskan Wajib Belajar Bank Mandiri ini dengan langkah yang adil, jitu dan efisien, sehingga kita terhindar dari golongan besar Lost Generation.Dede Parasadehttp://www.blogger.com/profile/05043056964927886712noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-13446931.post-1118884244149232062002-09-07T04:00:00.000+07:002005-06-16T08:10:44.153+07:00The Lost GenerationIstilah The Lost Generation muncul ketika bumi Indonesia tercinta ini terlanda krisis ekonomi yang merupakan kekhawatiran berbagai pihak terhadap kekurangan pangan dan gizi atas bayi-bayi yang terlahir dari keluarga yang tidak mampu. Dikhawatirkan generasi berikutnya adalah generasi yang lemah, bodoh, ringkih dan selalu kalah dalam kancah persaingan dunia. <br /><br />The Lost Generation pula ini merupakan kekhawatiran penulis terhadap para junior officer yang bergabung dengan Bank Mandiri yang memiliki pengalaman kerja dibawah 10 tahun. Generasi ini adalah generasi termuda dari keempat ex-legacy Bank Mandiri yang bergabung, generasi yang belum pernah merasakan dan mencicipi nikmatnya pendidikan program pasca sarjana/post Graduated ABIDIN (atas biaya Dinas). Generasi ini juga yang hanya mendengar dan melihat senior mereka yang merasakan program MBA di luar negeri ataupun program MM di dalam negeri. <br /><br />Salah satu motivasi para staf muda memasuki bank-bank ex legacy adalah memperoleh jenjang pendidikan pasca sarjana, hal ini sekaligus sebagai sarana pengembangan sumber daya insani dalam bank-bank ex legacy tersebut. Namun apa dinyana badai krisis menghantam negeri ini dan juga 4 ex legacy kapal induk dan membuatnya karam, hingga pemerintah turun tangan menyusun kembali 4 rangka kapal yang karam tersebut menjadi Bank Mandiri, sehingga keinginan para staf muda ini menjadi tertunda hingga saat ini. Badai juga melanda kapal-kapal bank BUMN yang lain namun tidak sempat karam karena cepat-cepat ditambal program rekapitalisasi pemerintah. <br /><br />Jika kita melihat program pasca sarjana bank pesaing kita maka ada pepatah mengatakan ‘rumput tetangga memang lebih hijau’. Tentunya kita akan terpana melihat program business School (Bizkul) yang dimiliki Bank-bank pesaing kita setelah pasca rekapitalisasi. Mari kita lihat hijaunya rumput itu satu persatu. <br /><br />A. Bank Rakyat Indonesia (BRI)<br /><br />Saat ini bisa dikatakan program pendidikan termaju di Indonesia justru dimiliki oleh Bank rakyat yang satu ini. Selain mengimplementasikan sistem pendidikan yang berkelanjutan dan terpadu bagi seluruh level pegawainya, BRI juga ternyata masih memberikan bea siswa bagi karyawannya untuk melanjutkan program pasca sarjana. Kerja sama dengan MM UGM masih tetap dilanjutkan, MM IPB pun digandengnya dan penggantian 100% atas biaya pendidikan program pasca sarjana juga diberikan. Tentunya proses seleksi yang ketat harus dilalui untuk karyawan yang akan melanjutkan program ini. <br /><br />B. Bank Negara Indonesia (BNI’ 46)<br /><br />BNI pun tak mau kalah dalam program pasca sarjana bagi karyawannya. BNI mempercayai MM IPB dalam kerja sama menyekolahkan business School para karyawannya. Jika karyawan menghendaki melanjutkan di lain institusi maka penggantian 50% atas biaya program pasca sarjana tersebut diberikan. Proses seleksi yang ketat juga harus dilalui untuk yang berminat. <br /><br />C. Bank Central Asia (BCA)<br /><br />Raksasa perbankan nasional ini tidak disangka ternyata sedang giat-giatnya melancarkan program pendidikan dan pelatihan bagi seluruh karyawannya. Program pasca sarjanapun tak luput dari jangkauannya. Setelah melalui program seleksi yang ketat, karyawan diberikan keleluasaan untuk memilih TOP 5 BIZKUL yang ada (MMUI, IPMI, Prasetya Mulya, IPPM, MM UGM) dan kemudian memberikan bea siswa gratis 100% untuk program tersebut. <br /><br />Dari program-program pesaing, kita mampu melihat bahwa para pesaing kita ternyata lebih menekankan pada investasi sumber daya insani berjangka panjang dan bersifat kaderisasi berkelanjutan meskipun tetap didera krisis. Kekhawatiran the Lost generation otomatis ditepis dengan mudah dan yang paling pasti mereka sudah siap sedia tempur dalam visi jangka panjang dan siap pula menerkam yang lemah. <br /><br />Dari uraian tersebut diatas, penulis hanya bisa berperibahasa; better late than never. Tidak ada istilah terlambat, mari kita tiru hijaunya rumput tetangga, kita urus rumput kita, beri pupuk yang cukup dan disiram air setiap hari. Jangan biarkan kami tumbuh berkembang dan bebas jadi ilalang. Kaderisasi karyawan yang berdimensi jauh ke depan akan lebih bermanfaat daripada kemudian kita harus meng-outsource manajer bayaran. Dan jika perlu dicanangkan kembali, Bank Mandiri sebagai Institutnya Bankir Indonesia... <br /><br /><br />Penulis : TSAO.5.Hb.JPM dan Mahasiswa MMUIDede Parasadehttp://www.blogger.com/profile/05043056964927886712noreply@blogger.com6tag:blogger.com,1999:blog-13446931.post-1119575607878711472002-08-28T02:00:00.000+07:002005-06-24T08:13:27.883+07:00Sisi Kelam Dari IklanSebagian orang meyakini bahwa iklan adalah cara paling efektif untuk mempromosikan produk/jasa ke pasar. Teman saya bilang: “jalan pintas menuju popularitas”. Apakah pernyataan itu betul? jawabannya adalah belum tentu. Karena dengan iklan justru bisa menjadi sebuah senjata makan tuan. fenomena seperti apakah ini? Menjawab hal ini, penulis jadi teringat sebuah rekaman lawas tentang seminar Marketing dengan Keynote speaker Bp. Hermawan Kertajaya yang berbicara tentang konsep Nilai (value). Sehubungan hal tersebut, mari kita mencoba menelaah konsep nilai tersebut khususnya value dalam benak konsumen serta iklan yang mewarnainya. <br /><br />Di dalam sebuah iklan biasanya mengandung pesan-pesan, dimana pesan itu biasanya langsung mengajak kepada konsumen untuk mencoba dan menggunakan produk atau jasa yang diiklankan dengan kualitas terbaik. Dari pesan tersebut otomatis akan membentuk suatu pengharapan atau persepsi di dalam benak para penerima pesan tersebut. Hasil Proses inilah yang dinamakan Perception Value (nilai persepsi). dan biasanya perception value yang ada di benak para konsumen itu tinggi sebagai hasil dari iklan yang dilancarkan. Lebih-lebih iklan tersebut dilancarkan secara kontinyu. <br /><br />Dan hasil penguatan positif dari perception value ini akan memotivasi seseorang melakukan tindakan sesuai pesan yang diterimanya. Dan pada tahap inilah konsumen mencoba membuktikan “janji surga” yang diterimanya. Tahap ini pula Konsumen akan merasakan langsung apa yang dijanjikan dari sebuah produk atau jasa. Proses ini disebut sebagai Perceived Value (nilai yang diterima). <br /><br />Perceived Value VS Perception Value <br /><br />ada 3 kategori kondisi yang akan dihasilkan dalam benak konsumen dari pertemuan Perception Value dan Perceived Value. Dan ketiganya itu adalah sebagai berikut: <br /><br />Perceived Value > Perception Value <br />Bersyukurlah jika produk dan jasa yang berada pada posisi ini. Karena hal ini berarti nilai yang diterima oleh konsumen jauh melebihi apa yang dipersepsikan oleh konsumen itu sendiri terhadap produk dan jasa tersebut. Pada kondisi ini, kepuasan konsumen (customer satisfaction) bisa dicapai dan kemungkinan cukup besar akan terjadi pengulangan pembelian (repetitive buying). <br /><br />Perceived Value = Perception Value <br />Satu komentar untuk kondisi ini yaitu WAJAR. Wajarlah sebuah perusahaan berusaha melakukan iklan dengan mencoba untuk mencapai kondisi dimana nilai yang diterima konsumennya sama dengan yang dipersepsikan oleh konsumennya. Kondisi apa adanya ini sama sekali tidak memiliki keunggulan karena pesaing kitapun bisa berada pada posisi ini. Sehingga dibutuhkan instrumen lain untuk memperkuat posisi kita di dalam benak konsumen. <br /><br />Perceived Value < Perception Value <br />Bencanalah jika perusahaan dalam posisi ini, disini pula judul artikel ini berlaku; Sisi Kelam Dari Iklan. Dan pepatahpun mengatakan sudah jatuh tertimpa tangga pula, sudah mahal buat iklan ditinggalkan pula oleh konsumen. Konsumen merasa dirinya ditipu oleh bombastis iklan, kekecewaan muncul ketika harapan dari konsumen sudah tinggi ternyata realitas yang dirasakan/dilihat jauh dari pengharapan. <br /><br />Pakem <br /><br />Guna menghindari jebakan sisi kelam dari iklan ini tentunya dibutuhkan serangkaian panduan/pakem yang perlu dipatuhi, dipegang teguh dan dijalankan secara konsisten. Adapun pakem tersebut adalah sebagai berikut: <br /><br />Janganlah terlalu sering beriklan <br />selain mahal juga secara psikologis setiap manusia akan muak dan jengkel jika diberikan informasi berulang-ulang dan sama. Dengan banyaknya pilihan media khususnya televisi, menyebabkan orang dengan mudah untuk pindah chanel, jika dianggapnya info tersebut membosankan. Tentukan suatu waktu hingga perhatian sebagian besar orang tertuju pada satu moment hingga terkenang selalu – moment of truth. <br /><br />Hati-hati dengan Advertising Agencies <br />Advertising agencies sama dengan perusahaan yang lain, sama-sama memaximalkan profit. semakin besar kita berinvestasi semakin untunglah mereka. Jangan terlalu terpukau dengan hasil karya terbesar mereka, tetapi pilihlah mereka secara selektif dengan dasar iklan yang paling kreatif dan komunikatif. Beauty contest disini perlu pula dipertimbangkan dalam rangka meluncurkan sebuah iklan. <br /><br />Janganlah terlalu banyak simbol <br />Materi iklan itu sendiri diharapkan tidak terlalu banyak mengandung banyak simbol, yang dikhawatirkan memunculkan berbagai apresiasi yang berbeda. Jangan biarkan imajinasi konsumen berkembang bebas dan liar sehingga membentuk Perception Value yang terlalu tinggi. Dengan kondisi masyarakat Indonesia yang berbeda-beda, ada baiknya memberikan suatu iklan yang bersifat pembelajaran bagi konsumen atas produk/jasa yang kita tawarkan. informasi lengkap dan detail atas suatu produk/jasa seharusnya diketengahkan dalam program iklan, khususnya dalam jasa perbankan. <br /><br />Tengok dan perhatikan Iklan Pesaing <br />Kenali strategi musuh melalui iklannya dan tidak perlu gengsi untuk bila perlu meniru strategi-strategi promosi dari market leader. Kita wajib belajar dari pesaing atas Kemampuan tinggi untuk mengkomunikasikan suatu produk/jasa hingga hasil akhirnya terhadap kinerja mereka. Disinilah kemampuan marketing intellegence diuji. <br /><br />Persiapan Sumber daya <br />Guna mengantisipasi dan menghindari gap antara iklan dan kesiapan sumber daya, perlu kiranya disiapkan secara matang berbagai sumber daya yang mendukung khususnya sumber daya insaninya yang berkaitan erat dengan product/services knowledge. Dan tentunya jaminan atas ketersediaan produk/jasa yang diiklankan sehingga mudah terjangkau oleh calon konsumen. <br /><br />Himbauan <br /><br />Dari Pakem yang disebutkan di atas, tentunya ini bisa dijadikan bahan pertimbangan dan masukan bagi Bank Mandiri yang sedang giat-giatnya melancarkan iklan khususnya dalam strategi above the line dengan media elektronis. Dan semoga pakem ini mampu menuntun Bank Mandiri menggapai posisi Perceived Value > Perception Value. Pakem ini pula sebagai penjabaran atas saran penulis dalam artikel sebelumnya yaitu mari kita lancarkan iklan secara cerdik dan efisien. <br /><br />Penulis : TSAO Hub Jakarta Plaza Mandiri dan Mahasiswa MMUIDede Parasadehttp://www.blogger.com/profile/05043056964927886712noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-13446931.post-1129264460691223902002-04-03T12:16:00.000+07:002005-10-14T11:34:20.703+07:00Ekspresi Ketidakpuasan Pegawai<span style="font-family:times new roman;font-size:85%;">Selaku pegawai bank Mandiri, kita cukup tercengang sekaligus sangat prihatin atas berbagai kasus tindak manipulasi, kasus pembobolan dari dalam Bank Mandiri sendiri. Rasanya kita sia-sia berusaha sekuat tenaga mencoba menangguk keuntungan bagi Bank mandiri namun kemudian keuntungan itu digondol begitu saja oleh oknum pegawai Bank Mandiri sendiri dengan </span><span style="font-family:times new roman;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-family:times new roman;">tindak manipulasinya dan bahkan besarnya melebihi dari keuntungan Bank Mandiri sendiri.</span><br /><br />Terlepas dari niat jahat dari para oknum, perlu kiranya ini menjadi suatu perenungan kita semua di Bank Mandiri, apa yang telah terjadi dengan Bank tercinta ini. Adakah kemungkinan ketidakpuasan karyawan dapat menimbulkan tindak manipulasi di Bank Mandiri. Ada baiknya jika kita menilik kembali sebuah teori Perilaku Organisasi.<br /><br />Teori perilaku organisasi guna membahas fenomena yang terjadi adalah mengenai Job Dissatisfaction yang dikemukakan oleh C Rusbult dan D .Lowery dalam bukunya When Bureaucrats get the blues, dimana ketidakpuasan karyawan dapat diekspresikan dengan berbagai cara. Dari pada karyawan harus keluar maka mereka memilih misalnya karyawan mengeluh, tidak patuh atau mencuri alat-alat kantor. Pada exhibit 1 menggambarkan 4 respon yang berbeda sama sekali satu sama lain diantara 2 dimensi yaitu dimensi konstruktif/destruktif dan keaktifan/kepasifan.<br /><br />Exhibit 1<br />Respon Ketidakpuasan Kerja<br /><br /> <br />Adapun keempat respon tersebut adalah sebagai berikut:<br />1. Exit (keluar), merupakan langkah berani dengan keluar/meninggalkan perusahaan termasuk di dalamnya adalah mencari perkerjaan baru di perusahaan lain<br />2. Voice (bersuara), aktif dan konstruktif berusaha memperbaiki kondisi yang ada. Dalam hal ini karyawan menyarankan adanya perbaikan, berdiskusi dengan top management dan sejumlah kegiatan dalam serikat pekerja<br />3. Loyalty (Loyal), bersifat pasif namun optimis menanti perbaikan kondisi, mereka sangat percaya pada organisasi dan langkah para top management yang dianggapnya “pasti benar”<br />4. Neglect (tidak peduli), merupakan tindakan yang sebenarnya sangat berbahaya, dimana karyawan bersikap tidak peduli lagi dengan kondisi sekitar dan biasanya akan bertingkah laku buruk dalam menyikapi kondisi yang buruk. Dapat digolongkan dalam kelompok ini adalah tingkat absensi yang tinggi, pengenduran produktifitas dan peningkatan tingkat kesalahan.<br /><br />Respon setiap karyawan atas ketidakpuasan tentunya akan berbeda-beda tergantung nilai, sikap, motivasi dan persepsi masing-masing karyawan. Munculnya Serikat Pekerja Bank Mandiri (SPBM) merupakan era baru di Bank Mandiri, respon SPBM dalam “Buletin Kopi Panas” kiranya dapat dikategorikan sebagai respon VOICE. Mereka mencoba membuka wacana keterbukaan dalam sistem Manajemen Bank Mandiri dan menawarkan dialog antara karyawan dan Top Manajemen.<br /><br />Sedangkan respon LOYALTY, merupakan typicaly karyawan BUMN, rasanya sebagian besar karyawan Bank Mandiri ada dalam posisi tersebut. Merek cenderung memilih diam atas dinamika yang terjadi dan mengikuti arus yang ada. Kedua respon tadi masih dalam kerangka yang jauh lebih baik yaitu dimensi yang konstruktif.<br /><br />Respon EXIT memiliki dimensi destruktif namun mempunyai kadar resiko yang rendah. Ketidakpuasan kerja langsung disikapinya dengan langkah keluar dari perusahaan. Apabila Bank Mandiri tidak mampu memberikan kesempatan luas kepada karyawannya, tidak menutup kemungkinan akan ada hengkangnya para officer potensialnya. (Issue ini dibahas dalam artikel berikutnya dari penulis)<br /><br />Air tenang menghanyutkan, itulah istilah yang cocok untuk kelompok respon NEGLECT. Sebenarnya dalam respon Neglect (Tak Peduli) merupakan kelompok respon memunculkan resiko paling besar, dalam menyikapi sebuah kondisi kelompok ini cenderung diam namun kemudian mengkompensasikannya dalam sebuah tindakan yang cenderung merugikan perusahaan, termasuk di dalamnya yaitu tindak manipulasi selain tindakan indisipliner.<br /><br />Memang sangat sulit mengidentifikasi masing-masing keinginan dari 17 ribu karyawan Bank Mandiri sehingga keempat respon ketidakpuasan tersebut diatas akan selalu muncul setiap saat. Oleh karena itu perlu kiranya manajemen mengidentifikasi latar belakang/pemicu permasalahan karyawan secara umum terlebih dahulu.<br /><br />Dapat kita lihat bahwa pemicu munculnya ketidakpuasan Karyawan Bank Mandiri secara sederhana dapat digolongkan menjadi faktor eksternal dan Internal. Eksternal antara lain Seperti halnya yang dirasakan oleh seluruh bangsa Indonesia, karyawan bank mandiripun merasakan apa yang dinamakan “uncertainty” ketidakmenentuan yang berkepanjangan serta tekanan berat inflasi. Ditambah faktor internal yaitu berbagai perubahan sebagai akibat adanya merger Bank Mandiri.<br /><br />Alternatif solusi dapat ditawarkan jika kita mampu melihat permasalahan secara umum, kita kembali pada teori klasik Motivasi “Herzberg” yaitu Teori 2 Faktor. Dimana motivasi seorang karyawan dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu faktor Hygienis (external) dan faktor Motivator (internal). Faktor Hygienis merupakan faktor eksternal yang mampu membuat karyawan tidak menjadi tidak puas apabila terpenuhi faktor ini. Atau dengan kata lain apabila faktor ini tidak ada maka karyawan menjadi tidak puas. Termasuk didalamnya adalah sikap manajemen, teman sejawat, sarana, prasarana kantor, gaji, serta tunjangan-tunjangan lainnya.<br /><br />Adapun faktor motivator merupakan faktor-faktor yang mampu membuat kepuasan kerja bagi karyawan. Faktor ini lebih banyak berasal dari internal diri karyawan dan pekerjaannya seperti pencapaian, etos kerja, sifat pekerjaan, tanggung jawab dari pekerjaan, dan promosi. Gambaran dapat dilihat di Exhibit 2.<br /><br />Exhibit 2. Herzberg View<br /> <br />Cukup menarik jika kita melihat relevansinya antara ekspresi ketidakpuasan dengan faktor Hygienis dari teori 2 faktor. apabila terpenuhi faktor Hygienis mampu membuat karyawan tidak menjadi tidak puas. Dengan kita melihat pemicunya ketidakpuasan seperti contoh dalam hal ini adalah tekanan inflasi, maka perlu kiranya Top Manajemen mengembangkan suatu program “bottom up” peningkatan kesejahteraan misalnya kenaikan gaji berkala seiring kenaikan laju inflasi tahunan atau proporsional dengan kenaikan gaji Top Manajemen. Bank Mandiri memang bagus menjadi pionir penerapan single salaries, akan jauh lebih bagus jika dalam penerapannya disesuaikan dinamika lingkungan sekitar. Atau mencoba mengakomodir “keinginan menggema” dari para karyawan Bank Mandiri yaitu dengan pemberian kredit bersubsidi bagi karyawan guna meredam “kecemburuan” terhadap karyawan Bank BUMN lain yang juga sama-sama direkapitalisasi.<br /><br />Kami sadar program kenaikan gaji karyawan memang memiliki hubungan terbalik dengan “rapor” Top Manajemen, bagaimana Manajemen mempertanggungjawabkannya kepada Shareholders. Tetapi jika kita bandingkan dengan total kerugian/loss akibat adanya tindak Manipulasi, rasanya Kenaikan gaji jauh lebih kecil pengaruhnya terhadap Laporan Rugi Laba dan pengaruhnya mampu memberikan kesejukan kepada semua karyawan. Kemampuan manajemen mengakomodir keinginan seperti ini berarti prestasi besar pula yang mampu menyelesaikan salah satu “pekerjaan rumah”. Hal ini akan memberi pijakan/pondasi kuat guna membangun Bank Mandiri secara sehat dan senasib sepenanggunangan.</span></span><br /><br /><span style="font-family:times new roman;font-size:85%;"> Penulis : TSAO Hub Jakarta Plaza Mandiri dan Mahasiswa MMUI</span>Dede Parasadehttp://www.blogger.com/profile/05043056964927886712noreply@blogger.com1