Monday, November 03, 2003

Belajar Dari Kasus L/C Bank BNI

Kita semua terkaget-kaget mendengar satu lagi kasus pembobolan bank yang mempunyai nilai yang maha besar. Sebuah kasus dengan nilai Rp 1,7 trilyun terjadi di Bank BNI yang melibatkan “orang dalam”. Atas kesimpangsiuran mengenai berita ini, tulisan ini mencoba mengangkat masalah tersebut sesederhana mungkin.

Kasus ini sebenarnya merupakan modus operandi gaya lama yaitu kasus ekspor fiktif. Dengan ekspor fiktif ini maka akan menimbulkan satu masalah yang disebut unpaid atau tidak dibayarnya tagihan ekspornya. Hanya saja Bank BNI masih menggunakan sistem yang lama dalam pemrosesan dokumen sehingga kasus ini berulang kembali. Dalam kasus ini peranan pejabat bank sangatlah penting karena tanpa bantuannya maka kasus ini tidak akan terjadi.

Dalam kasus ekspor fiktif ini berkaitan erat dengan fasilitas diskonto. Adalah fasilitas yang diberikan oleh pihak bank untuk menalangi terlebih dahulu atas transaksi ekspor yang dilakukan nasabahnya dengan perhitungan bunganya menggunakan discount rate. Untuk pelunasan fasilitas diskonto ini pihak bank akan menerima pembayaran dari pihak bank pembuka L/C ekspor di luar negeri pada saat jatuh tempo.

Seperti kita ketahui, fasilitas diskonto ini tidak langsung diberikan begitu saja oleh pihak bank kepada nasabahnya. Syarat utama diberikannya fasilitas ini kepada nasabah adalah setelah pihak bank menerima surat akseptasi dari pihak bank pembuka L/C. Dan terdapat dua aspek lain yang perlu dipertimbangkan seperti adanya jaminan aset nasabah dan L/C ekspor yang diterima haruslah dari bank koresponden.

Dan pada kasus Bank BNI kelihatannya keseluruhan aspek tersebut di atas ternyata tidak terpenuhi. Keterlibatan pejabat Bank BNI sangat jelas terlihat dari melakukan kesalahan yang sangat fatal yaitu mendiskonto wesel ekspor berjangka tanpa memperoleh surat akseptasi atau surat sanggup bayar dari bank pembuka L/C di luar negeri. Dan disinilah Kunci utama kejahatan pembobolan bank dilakukan.

Mengingat lemahnya pengawasan internal baik di cabang maupun kantor pusat maka kesalahan mendiskonto dokumen ekspor fiktif itu terus berulang kali dilakukan dan dalam jangka waktu yang cukup lama hingga akhirnya menimbulkan pos terbuka hingga mencapai Rp 1,7 trilyun atau equivalen dengan USD 200 juta.

Pihak eksportir jelas tidak bisa mempertanggungjawabkan dengan assetnya atas tidak terbayarnya tagihan ekspor kepada pihak Bank BNI. Semestinya ada jaminan dari pihak eksportir apabila tagihan ekspor tersebut tidak terbayar maka pihaknya akan mengembalikan uang talangan kepada pihak Bank BNI.

Sisi lain yang tak kalah penting adalah sisi bank koresponden di luar negeri sebagai pihak bank pembuka L/C tersebut. Dengan memberikan fasilitas diskonto atas L/C ekspor yang diperoleh dari bank yang bukan bank koresponden merupakan kesalahan fatal dan kelihatannya disengaja dalam kasus ini. Hal ini karena tidak ada jaminan apapun dari pihak bank pembuka L/C apabila terjadi unpaid. Dan bukan tidak mungkin pihak importir yang membuka L/C Impor di luar negeri merupakan bagian dari komplotan yang membobol Bank BNI.

Dari kasus ini kita dapat melihat bahwa penanganan ekspor dari Bank BNI masih menggunakan sistem lama dan tradisional. Pada sistem ini, bagian pemrosesan transaksi dokumen ekspor dan “pihak yang memutus” masih berada pada satu unit kerja yaitu Bank BNI Cabang Kebayoran Baru. Sebenarnya sistem lama ini sudah lama ditinggalkan oleh dunia perbankan internasional.

Beruntunglah kita Bank Mandiri telah menggunakan sistem baru yang biasa kita sebut bill processing center (BPC) seperti juga telah dilakukan beberapa bank kelas dunia seperti HSBC, Standard Chartererd Bank, dan ABN AMRO. Sistem ini merupakan sistem sentralisasi untuk menangani transaksi ekpor dan pembukaan L/C Impor. Unit kerja ini bekerja terpisah dari unit kerja yang “memutus”. Sehingga proses dual control dapat berfungsi dengan baik. Otomatis kejadian unpaid dapat dideteksi secara dini dan kecil kemungkinan kejadian tersebut dapat berlangsung berulang kali.

Sistem ini bagian dari sistem manajemen resiko yang merupakan barang baru bagi perbankan nasional. Resiko dibagi menjadi beberapa bagian. Documentary risk berada pada bill processing, customer risk ada di tangan cabang atau bisnis unit dan bank risk merupakan bagian dari Internasional Banking Group. Diharapkan dengan pemisahan resiko ini maka sistem kontrol akan berjalan secara sistematis.

Mau tidak mau, suka atau tidak suka kelihatannya kita yang sedang berdandan wajib bercermin kembali dari kasus Bank BNI ini. Disinilah baru kita sadari bahwa pengawasan internal harus dilakukan secara kontinyu dan sistematis. Dan pelajaran paling mahal harganya adalah dari pengalaman.

Penulis:
Dede Parasade
Hub Jakarta Plaza Mandiri


Tulisan ini telah dimuat di harian Kompas, tanggal 5 Nopember 2003